Minggu, 24 Februari 2013
CINTA SEORANG SUAMI KEPADA ISTRI
Aku membencinya, Itulah
yang selalu kubisikkan
dalam hatiku hampir
sepanjang kebersamaan
kami. Meskipun
menikahinya, Aku tak pernah benar-benar
menyerahkan hatiku
padanya. Menikah karena
paksaan orangtua,
Membuatku membenci
suamiku sendiri. Walaupun menikah terpaksa, Aku tak
pernah menunjukkan sikap
benciku. Meskipun
membencinya, Setiap hari
aku melayaninya
sebagaimana tugas istri. Aku terpaksa melakukan
semuanya karena aku tak
punya pegangan lain.
Beberapa kali muncul
keinginan meninggalkannya
tapi aku tak punya kemampuan finansial dan
dukungan siapapun. Kedua
orangtuaku sangat
menyayangi suamiku
karena menurut mereka,
Suamiku adalah sosok suami sempurna untuk putri satu-
satunya mereka. Ketika
menikah, Aku menjadi istri
yang teramat manja.
Kulakukan segala hal sesuka
hatiku. Suamiku juga memanjakanku sedemikian
rupa. Aku tak pernah
benar-benar menjalani
tugasku sebagai seorang
istri. Aku selalu bergantung
padanya karena aku menganggap hal itu sudah
seharusnya setelah apa yang
ia lakukan padaku. Aku
telah menyerahkan hidupku
padanya sehingga
tugasnyalah membuatku bahagia dengan menuruti
semua keinginanku. Di rumah kami, Akulah
ratunya. Tak ada
seorangpun yang berani
melawan. Jika ada sedikit
saja masalah, Aku selalu
menyalahkan suamiku. Aku tak suka handuknya yang
basah yang diletakkan di
tempat tidur, Aku sebal
melihat ia meletakkan
sendok sisa mengaduk susu
di atas meja dan meninggalkan bekas
lengket, Aku benci ketika ia
memakai komputerku
meskipun hanya untuk
menyelesaikan
pekerjaannya. Aku marah kalau ia menggantung
bajunya di kapstock
bajuku, Aku juga marah
kalau ia memakai pasta gigi
tanpa memencetnya dengan
rapi, Aku marah kalau ia menghubungiku hingga
berkali-kali ketika aku
sedang bersenang-senang
dengan teman-temanku. Tadinya aku memilih untuk
tidak punya anak. Meskipun
tidak bekerja, Tapi aku tak
mau mengurus anak.
Awalnya dia mendukung
dan akupun ber-KB dengan pil. Tapi rupanya ia
menyembunyikan
keinginannya begitu dalam
sampai suatu hari aku lupa
minum pil KB dan meskipun
ia tahu ia membiarkannya. Akupun hamil dan baru
menyadarinya setelah lebih
dari empat bulan,
Dokterpun menolak
menggugurkannya. Itulah kemarahanku
terbesar padanya.
Kemarahan semakin
bertambah ketika aku
mengandung sepasang anak
kembar dan harus mengalami kelahiran yang
sulit. Aku memaksanya
melakukan tindakan
vasektomi agar aku tidak
hamil lagi. Dengan patuh ia
melakukan semua keinginanku karena aku
mengancam akan
meninggalkannya bersama
kedua anak kami. Waktu
berlalu hingga anak-anak
tak terasa berulang tahun yang ke-delapan. Seperti
pagi-pagi sebelumnya, Aku
bangun paling akhir. Suami
dan anak-anak sudah
menungguku di meja
makan. Seperti biasa, Dialah yang menyediakan sarapan
pagi dan mengantar anak-
anak ke sekolah. Hari itu, Ia
mengingatkan kalau hari itu
ada peringatan ulang tahun
ibuku. Aku hanya menjawab dengan
anggukan tanpa
mempedulikan kata-
katanya yang
mengingatkan peristiwa
tahun sebelumnya, Saat itu aku
memilih ke mal dan tidak
hadir di acara ibu. Yaah, Karena merasa
terjebak dengan
perkimpoianku, Aku juga
membenci kedua
orangtuaku. Sebelum ke
kantor, Biasanya suamiku mencium pipiku saja dan
diikuti anak-anak. Tetapi
hari itu, Ia juga memelukku
sehingga anak-anak
menggoda ayahnya dengan
ribut. Aku berusaha mengelak dan melepaskan
pelukannya. Meskipun
akhirnya ikut tersenyum
bersama anak-anak. Ia
kembali mencium hingga
beberapa kali di depan pintu Seakan-akan berat untuk
pergi. Ketika mereka pergi,
Akupun memutuskan
untuk ke salon.
Menghabiskan waktu ke
salon adalah hobiku. Aku
tiba di salon langgananku beberapa jam kemudian. Di
salon aku bertemu salah
satu temanku sekaligus
orang yang tidak kusukai.
Kami mengobrol dengan
asyik termasuk saling memamerkan kegiatan
kami. Tiba waktunya aku
harus membayar tagihan
salon. Namun betapa
terkejutnya aku, Ketika
menyadari bahwa dompetku tertinggal di
rumah. Meskipun merogoh
tasku hingga bagian
terdalam aku tak
menemukannya di dalam
tas. Sambil berusaha mengingat-ingat apa yang
terjadi hingga dompetku
tak bisa kutemukan. Aku
menelepon suamiku dan
bertanya,
“Maaf sayang, Kemarin Farhan meminta uang jajan
dan aku tak punya uang
kecil maka kuambil dari
dompetmu. Aku lupa
menaruhnya kembali ke
tasmu, Kalau tidak salah aku letakkan di atas meja
kerjaku.”
Katanya menjelaskan
dengan lembut. Dengan
marah, Aku mengomelinya
dengan kasar. Kututup telepon tanpa
menunggunya selesai bicara. Tak lama kemudian,
Handphoneku kembali
berbunyi dan meski masih
kesal, Akupun
mengangkatnya dengan
setengah membentak. “Apalagi??”
“Sayang, Aku pulang
sekarang, Aku akan ambil
dompet dan mengantarnya
padamu. Sayang sekarang
ada dimana?” tanya suamiku cepat , Kuatir Aku
menutup telepon kembali.
Aku menyebut nama
salonku dan tanpa
menunggu jawabannya lagi,
Aku kembali menutup telepon. Aku berbicara
dengan kasir dan
mengatakan bahwa
suamiku akan datang
membayarkan tagihanku. Si
empunya Salon yang sahabatku sebenarnya
sudah membolehkanku
pergi dan mengatakan aku
bisa membayarnya nanti
kalau aku kembali lagi. Tapi rasa malu karena
“musuh”ku juga ikut
mendengarku ketinggalan
dompet membuatku gengsi
untuk berhutang dulu.
Hujan turun ketika aku melihat keluar dan berharap
mobil suamiku segera
sampai. Menit berlalu
menjadi jam, Aku semakin
tidak sabar sehingga mulai
menghubungi handphone suamiku. Tak ada jawaban
meskipun sudah berkali-kali
kutelepon. Padahal biasanya
hanya dua kali berdering
teleponku sudah
diangkatnya. Aku mulai merasa tidak enak dan
marah. Teleponku diangkat
setelah beberapa kali
mencoba. Ketika suara
bentakanku belum lagi
keluar, Terdengar suara asing
menjawab telepon suamiku.
Aku terdiam beberapa saat
sebelum suara lelaki asing
itu memperkenalkan diri,
“Selamat siang, ibu. Apakah ibu istri dari bapak
armandi?”
Kujawab pertanyaan itu
segera. Lelaki asing itu
ternyata seorang polisi, Ia
memberitahu bahwa suamiku mengalami
kecelakaan dan saat ini ia
sedang dibawa ke rumah
sakit kepolisian. Saat itu aku hanya terdiam
dan hanya menjawab
terima kasih. Ketika telepon
ditutup, aku berjongkok
dengan bingung. Tanganku
menggenggam erat handphone yang kupegang
dan beberapa pegawai salon
mendekatiku dengan sigap
bertanya ada apa hingga
wajahku menjadi pucat
seputih kertas. Entah bagaimana akhirnya aku
sampai di rumah sakit.
Entah bagaimana juga tahu-
tahu seluruh keluarga hadir
di sana menyusulku. Aku
yang hanya diam seribu bahasa menunggu suamiku
di depan ruang gawat
darurat. Aku tak tahu harus
melakukan apa karena
selama ini dialah yang
melakukan segalanya untukku. Ketika akhirnya
setelah menunggu beberapa
jam, tepat ketika
kumandang adzan maghrib
terdengar seorang dokter
keluar dan menyampaikan berita itu. Suamiku telah
tiada. Ia pergi bukan karena
kecelakaan itu sendiri,
Serangan stroke-lah yang
menyebabkan
kematiannya. Selesai mendengar
kenyataan itu, Aku malah
sibuk menguatkan kedua
orangtuaku dan
orangtuanya yang shock.
Sama sekali tak ada airmata setetespun keluar di kedua
mataku. Aku sibuk
menenangkan ayah ibu dan
mertuaku. Anak-anak yang
terpukul memelukku
dengan erat tetapi kesedihan mereka sama
sekali tak mampu
membuatku menangis.
Ketika jenazah dibawa ke
rumah dan aku duduk di
hadapannya, Aku termangu menatap wajah itu.
Kusadari baru kali inilah aku
benar-benar menatap
wajahnya yang tampak
tertidur pulas. Kudekati
wajahnya dan kupandangi dengan seksama. Saat itulah
dadaku menjadi sesak
teringat apa yang telah ia
berikan padaku selama
sepuluh tahun kebersamaan
kami. Kusentuh perlahan wajahnya yang telah dingin
dan kusadari inilah kali
pertama kali aku
menyentuh wajahnya yang
dulu selalu dihiasi senyum
hangat. Airmata merebak
dimataku, Mengaburkan
pandanganku. Aku
terkesiap berusaha
mengusap agar airmata tak
menghalangi tatapan terakhirku padanya, Aku
ingin mengingat semua
bagian wajahnya agar
kenangan manis tentang
suamiku tak berakhir
begitu saja. Tapi bukannya berhenti, Airmataku
semakin deras membanjiri
kedua pipiku. Peringatan
dari imam masjid yang
mengatur prosesi
pemakaman tidak mampu membuatku berhenti
menangis. Aku berusaha
menahannya, Tapi dadaku
sesak mengingat apa yang
telah kuperbuat padanya
terakhir kali kami berbicara. Aku teringat betapa aku
tak pernah memperhatikan
kesehatannya. Aku hampir
tak pernah mengatur
makannya. Padahal ia selalu
mengatur apa yang kumakan. Ia
memperhatikan vitamin
dan obat yang harus
kukonsumsi terutama
ketika mengandung dan
setelah melahirkan. Ia tak pernah absen
mengingatkanku makan
teratur, bahkan terkadang
menyuapiku kalau aku
sedang malas makan. Aku
tak pernah tahu apa yang ia makan karena aku tak
pernah bertanya. Bahkan
aku tak tahu apa yang ia
sukai dan tidak disukai.
Hampir seluruh keluarga
tahu bahwa suamiku adalah penggemar mie instant dan
kopi kental. Dadaku sesak
mendengarnya, Karena aku
tahu ia mungkin terpaksa
makan mie instant karena
aku hampir tak pernah memasak untuknya. Aku
hanya memasak untuk
anak-anak dan diriku
sendiri. Aku tak perduli dia
sudah makan atau belum
ketika pulang kerja. Ia bisa makan masakanku hanya
kalau bersisa. Ia pun pulang
larut malam setiap hari
karena dari kantor cukup
jauh dari rumah. Aku tak
pernah mau menanggapi permintaannya untuk
pindah lebih dekat ke
kantornya karena tak mau
jauh-jauh dari tempat
tinggal teman-temanku. Saat pemakaman, Aku tak
mampu menahan diri lagi.
Aku pingsan ketika melihat
tubuhnya hilang bersamaan
onggokan tanah yang
menimbun. Aku tak tahu apapun sampai terbangun di
tempat tidur besarku. Aku
terbangun dengan rasa sesal
memenuhi rongga dadaku.
Keluarga besarku
membujukku dengan sia-sia karena mereka tak pernah
tahu mengapa aku begitu
terluka kehilangan dirinya.
Hari-hari yang kujalani
setelah kepergiannya
bukanlah kebebasan seperti yang selama ini kuinginkan
tetapi aku malah terjebak di
dalam keinginan untuk
bersamanya. Di hari-hari awal
kepergiannya, Aku duduk
termangu memandangi
piring kosong. Ayah, Ibu
dan ibu mertuaku
membujukku makan. Tetapi yang kuingat hanyalah saat
suamiku membujukku
makan kalau aku sedang
mengambek dulu. Ketika
aku lupa membawa handuk
saat mandi, aku berteriak memanggilnya seperti biasa
dan ketika malah ibuku
yang datang, Aku
berjongkok menangis di
dalam kamar mandi
berharap ia yang datang. Kebiasaanku yang
meneleponnya setiap kali
aku tidak bisa melakukan
sesuatu di
rumah, Membuat teman
kerjanya kebingungan menjawab teleponku.
Setiap malam aku
menunggunya di kamar
tidur dan berharap esok
pagi aku terbangun dengan
sosoknya di sebelahku. Dulu aku begitu kesal kalau tidur
mendengar suara
dengkurannya, Tapi
sekarang aku bahkan sering
terbangun karena rindu
mendengarnya kembali. Dulu aku kesal karena ia
sering berantakan di kamar
tidur kami, Tetapi
kini aku merasa kamar tidur
kami terasa kosong dan
hampa. Dulu aku begitu kesal jika ia melakukan
pekerjaan dan
meninggalkannya di
laptopku tanpa me-log out,
Sekarang aku memandangi
komputer, Mengusap tuts- tutsnya berharap bekas jari-
jarinya masih
tertinggal di sana. Dulu aku
paling tidak suka ia
membuat kopi tanpa alas
piring di meja, Sekarang bekasnya yang tersisa di
sarapan pagi
terakhirnyapun tidak mau
kuhapus. Remote televisi
yang biasa
disembunyikannya, Sekarang dengan mudah
kutemukan meski aku
berharap bisa mengganti
kehilangannya dengan
kehilangan remote. Semua kebodohan itu
kulakukan karena aku baru
menyadari bahwa dia
mencintaiku dan aku sudah
terkena panah cintanya.
Aku juga marah pada diriku sendiri, Aku marah karena
semua kelihatan normal
meskipun ia sudah tidak
ada. Aku marah karena
baju-bajunya masih di sana
meninggalkan baunya yang membuatku rindu. Aku
marah karena tak bisa
menghentikan semua
penyesalanku. Aku marah
karena tak ada lagi yang
membujukku agar tenang, Tak ada lagi yang
mengingatkanku sholat
meskipun kini kulakukan
dengan ikhlas. Aku sholat
karena aku ingin meminta
maaf, Meminta maaf pada Allah karena menyia-
nyiakan suami yang
dianugerahi padaku,
Meminta ampun karena
telah menjadi istri yang
tidak baik pada suami yang begitu sempurna. Sholatlah
yang mampu menghapus
dukaku sedikit demi sedikit.
Cinta Allah padaku
ditunjukkannya dengan
begitu banyak perhatian dari keluarga untukku dan
anak-anak. Teman-temanku
yang selama ini kubela-
belakan, Hampir tak pernah
menunjukkan batang
hidung mereka setelah kepergian suamiku. Empat puluh hari setelah
kematiannya, Keluarga
mengingatkanku untuk
bangkit dari keterpurukan.
Ada dua anak yang
menungguku dan harus kuhidupi. Kembali rasa
bingung merasukiku.
Selama ini aku tahu beres
dan tak pernah bekerja.
Semua dilakukan suamiku.
Berapa besar pendapatannya selama ini
aku tak pernah peduli, yang
kupedulikan hanya jumlah
rupiah yang ia transfer ke
rekeningku untuk kupakai
untuk keperluan pribadi dan setiap bulan uang itu hampir
tak pernah bersisa. Dari
kantor tempatnya bekerja,
Aku memperoleh gaji
terakhir beserta kompensasi
bonusnya. Ketika melihatnya aku terdiam tak
menyangka, Ternyata
seluruh gajinya ditransfer
ke rekeningku selama ini.
Padahal aku tak pernah
sedikitpun menggunakan untuk keperluan rumah
tangga. Entah darimana ia
memperoleh uang lain
untuk memenuhi
kebutuhan rumah tangga
karena aku tak pernah bertanya sekalipun soal
itu.Yang aku tahu sekarang
aku harus bekerja atau
anak-anakku takkan bisa
hidup karena jumlah gaji
terakhir dan kompensasi bonusnya takkan cukup
untuk menghidupi kami
bertiga. Tapi bekerja di
mana ? Aku hampir tak
pernah punya pengalaman
sama sekali. Semuanya selalu diatur oleh dia. Kebingunganku terjawab
beberapa waktu kemudian.
Ayahku datang bersama
seorang notaris. Ia
membawa banyak sekali
dokumen. Lalu notaris memberikan sebuah surat.
Surat pernyataan suami
bahwa ia mewariskan
seluruh kekayaannya
padaku dan anak-anak, Ia
menyertai ibunya dalam surat tersebut tapi yang
membuatku tak mampu
berkata apapun adalah isi
suratnya untukku. Istriku Liliana tersayang,
Maaf karena harus
meninggalkanmu terlebih
dahulu. Maaf karena harus
membuatmu bertanggung
jawab mengurus segalanya sendiri. Maaf karena aku tak
bisa memberimu cinta dan
kasih sayang lagi. Allah
memberiku waktu yang
terlalu singkat karena
mencintaimu dan anak-anak adalah hal terbaik yang
pernah kulakukan
untukmu. Seandainya aku
bisa, Aku ingin
mendampingi sayang
selamanya. Tetapi aku tak mau kalian kehilangan kasih
sayangku begitu saja.
Selama ini aku telah
menabung sedikit demi
sedikit untuk kehidupan
kalian nanti. Aku tak ingin sayang susah setelah aku
pergi. Tak banyak yang bisa
kuberikan tetapi aku
berharap sayang bisa
memanfaatkannya untuk
membesarkan dan mendidik anak-anak. Lakukan yang
terbaik untuk mereka, Ya
sayang. Jangan menangis,
Sayangku yang manja.
Lakukan banyak hal untuk
membuat hidupmu yang terbuang percuma selama
ini. Aku memberi
kebebasan padamu untuk
mewujudkan mimpi-mimpi
yang tak sempat kau
lakukan selama ini. Maafkan kalau aku menyusahkanmu
dan semoga Tuhan
memberimu jodoh yang
lebih baik dariku. Teruntuk Farah, Putri
tercintaku. Maafkan karena
ayah tak bisa
mendampingimu. Jadilah
istri yang baik seperti Ibu.
Dan Farhan, Ksatria pelindungku. Jagalah Ibu
dan Farah. Jangan jadi anak
yang bandel lagi dan selalu
ingat dimanapun kalian
berada, ayah akan disana
melihatnya. Oke! Aku terisak membaca surat
itu, Ada gambar kartun
dengan kacamata yang
diberi lidah menjulur khas
suamiku kalau ia
mengirimkan note. Notaris memberitahu bahwa selama
ini suamiku memiliki
beberapa asuransi dan
tabungan deposito dari hasil
warisan ayah kandungnya.
Suamiku membuat beberapa usaha dari hasil
deposito tabungan tersebut
dan usaha tersebut cukup
berhasil meskipun
dimanajerin oleh orang-
orang kepercayaannya. Aku hanya bisa menangis
terharu mengetahui betapa
besar cintanya pada kami,
Sehingga ketika ajal
menjemputnya ia tetap
membanjiri kami dengan cinta. Aku tak pernah
berpikir untuk menikah
lagi. Banyaknya lelaki yang
hadir tak mampu
menghapus sosoknya yang
masih begitu hidup di dalam hatiku. Hari demi hari hanya
kuabdikan untuk anak-
anakku. Ketika orangtuaku
dan mertuaku pergi satu
persatu meninggalkanku
selaman-lamanya, Tak satupun meninggalkan
kesedihan sedalam
kesedihanku saat suamiku
pergi. Kini kedua putra putriku
berusia duapuluh tiga tahun.
Dua hari lagi putriku
menikah dengan seorang
pemuda dari tanah
seberang. Putri kami bertanya,
“Ibu, aku harus bagaimana
nanti setelah menjadi istri,
soalnya Farah kan ga bisa
masak, ga bisa nyuci,
gimana ya bu?” Aku merangkulnya sambil
berkata,
“Cinta sayang, cintailah
suamimu, Cintailah pilihan
hatimu, Cintailah apa yang ia
miliki dan kau akan mendapatkan segalanya.
Karena cinta, Kau akan
belajar menyenangkan
hatinya, Akan belajar
menerima kekurangannya,
Akan belajar bahwa sebesar apapun persoalan, Kalian
akan menyelesaikannya
atas nama cinta.”
Putriku menatapku,
“Aeperti cinta ibu untuk
ayah ? Cinta itukah yang membuat ibu tetap setia
pada ayah sampai
sekarang?”
Aku menggeleng,
“Bukan, sayangku. Cintailah
suamimu seperti ayah mencintai ibu dulu, Seperti
ayah mencintai kalian
berdua. Ibu setia pada ayah
karena cinta ayah yang
begitu besar pada ibu dan
kalian berdua.” Aku mungkin tak
beruntung karena tak
sempat menunjukkan
cintaku pada suamiku. Aku
menghabiskan sepuluh
tahun untuk membencinya, Tetapi menghabiskan
hampir sepanjang sisa
hidupku untuk
mencintainya. Aku bebas
darinya karena kematian,
Tapi aku tak pernah bisa bebas dari cintanya yang
begitu tulus.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Betway, BBET & BETWAY US - TITIAN TINI Titanium Flat Iron
BalasHapusBetway, mens black titanium wedding bands BBET titanium wedding bands for men & titanium necklace BETWAY US power supply titanium are the online betting brand based in London. 1-12-2020 |. Betway, BBET & titanium vs ceramic BETWAY ULTIMATE TINI - 1-12-2020.