Selasa, 26 Februari 2013

ADISTY ADELIA.. Gadis rembulan

Adisty Adelia nama ku, seorang mahasiswi semester 6 jurusan akuntansi di salah satu perguruan tinggi swasta di Jakarta. Beberapa tahun ini aku sedang dekat dengan seorang pria yang sangat aku cintai, Ahmad Qasam Amrul Haq namanya. Mahasiswa tingkat akhir jurusan sastra arab di kampus Negri Perguruan tinggi Jakarta pula. Kedekatan kami bukan dalam hubungan pacaran, emmm ta'aruf pun bukan. Namun aku tau, kami memiliki hubungan yang tak biasa. Tak sekedar teman ataupun rekanan mahasiswa. Entahlah, mungkin bisa dikatakan hubungan tanpa status. Yang aku tau, aku menyukainya dan ia pun sama, ya kurasa Ia menyukaiku. Mulanya, kami tak sengaja bertemu di sebuah seminar umum yang mengkaji mengenai Belajar Sastra dan Bahasa arab Alqur'an di salah satu perguruan tinggi ilmu qur'an ternama di Jakarta. Meski aku bukan mahasiswi yang bergelut didunia sastra, namun aku selalu tertarik untuk belajar dan mengkajinya. Bagiku, ini adalah suatu hal yang sangat menyenangkan. Aku selalu kagum dengan semua orang yang bergelut didunia ini. Menurutku mereka keren!. Karna aku tau, bukan suatu hal yang mudah untuk menguasainya, sastra arab. Pikirku, aku ingin menjadi bagian diantara orang-orang keren itu. hihiiiiii. Saat berlangsungnya seminar itu aku sangat menikmati kajian materinya, sangat bagus dan berbobot. Sampai pada saat dimulainya sesi tanya jawab, seorang mahasiswa berkacamata melontarkan sebuah pertanyaan dengan lugas. "Degggggggh..." tiba-tiba saja, entah kenapa seperti ada yang menghujam jantungku. Bukan karna fisiknya atau kacamata yang ia gunakan saat itu, tapi karna lontaran pertanyaan dan tentu saja karna bahasa arab yang ia gunakan adalah bahasa arab urdu yang tak biasa. Sangat keren bagiku. Sampai seusai seminar umum itu aku nekat untuk berkenalan dengannya dengan dalih ingin belajar bahasa arab urdu itu dengannya. Ah itu tak hanya sekedar dalih, namun aku benar-benar ingin menguasainnya. Tentu saja salah satu cara untuk aku bisa menguasainya adalah dengan menjadikan dia sebagai guruku.^^ Dari peristiwa itu, aku dan dia mulai menjadi partner belajar bahasa arab, seminggu sekali kami kami selalu meluangkan waktu itu itu. Dan tak hanya belajar tentang itu, kami juga sering membahas ilmu-ilmu lainnya, ilmu apa saja. Kegiatan ini berlangsung cukup lama, hampir 2 tahun kurasa. Hingga hubungan kami berubah status menjadi hubungan yang tak biasa. Dalam suka-duka, ia lah orang pertama yang ingin aku temui. Dia pun sama, teman- teman kami, bahkan keluarga kami pun sudah saling mengenal. Ya, bisa kupastikan kami memiliki hubungan yang tak biasa. Pacaran, sempat kata itu menjadi perbincangan hangat dan membahagiakan saat itu untuk kami. Namun, kami tak lakukan itu. Karna baik aku maupun dia sudah sama-sama mengerti tentang keharaman hubungan itu. Lalu hubungan kami?? ya aku tau, bahwa hubungan kami tak bedanya dengan hubungan terlarang itu, hanya status namanya saja lah yang berbeda. Tapi dapat kami tegaskan, kami tak pernah melakukan hal-hal yang dilakukan orang- orang berpacaran lainnya. Kami tau batasan-batasan dalam bergaul. Kami tak pernah sekalipun berpegang tangan, pertemuan kami pun selalu ditempat-tempat ramai. Entahlah, aku dapat memastikan hal-hal itu kecuali satu hal. Hati kami. Meski kami saling suka, namun kami tetap menjaga rasa. Pikirku saat itu. Kami saling berkata, bahwa saat indah nanti kelak kita akan bersama. Hanya tak sekarang, dan untuk saat itu biarkan hubungan kami berjalan seperti sekarang. Akupun menyutujuinya, karna jujur aku tak sanggup berpisah darinya. Aku telah benar-benar mencintainya. Lambat laun, hubungan kami semakin manis.. bukan karna kami semakin dekat. Bukan. Sama sekali bukan. Justru karna kami telah berpisah. Ya kami berpisah. Benar-benar berpisah. Dan status hubungan kami pun menjadi jelas. Tanpa status apapun. Aku katakan ini manis, memang bagi kami ini adalah hubungan yang manis. Ah sangat manis sepertinya.^^ Setahun belakangan kemarin sebelum kami berpisah, kami aktif untuk menghadiri seminar-seminar umum diberbagai perguruan tinggi. Tentu saja aku melakukannya bersama dia, Ahmad Qasam orang yang ku cintai. Kecintaan kami terhadap sastra melebar ke ilmu-ilmu lainnya, salah satunya adalah fikih. Entah mengapa sejak kami mengikuti berbagai seminar yang membahas tentang kajian fikih, membuat kami sangat tertarik untuk mengkaji mengenai kajian fikih itu lebih dalam dan dalam lagi. Kami berdua seperti terhipnotis dibuatnya. Mungkin karna dalam kitab fikih menggunakan bahasa arab yang membuat kami lebih bersemangat. Hingga sampai suatu hari, kami menyadari bahwa ada yang salah dengan hubungan kami. Dalam kitab fikih itu dijelaskan dengan jelas tentang bagaimana seharusnya pria dan wanita yang bukan mahrom berhubungan. Dalil-dalinya pun dengan jelas tertera disana. Saat itu kami diam dan hanya saling menatap. Benar- benar menjadi perenungan panjang buat kami. Hingga tak lama, aku meneteskan air mata. Dalam diam, berjuta pertanyaan berkecamuk didada. "Salahkah hubungan ini?? lalu apa harus kuakhiri, tapi aku sangat mencintainya... sungguh. Aku harus bagaimana?? tapi bila lanjut, aku tau ini dilarang oleh agama. Hubungan kami.. salah! tapi aku mencin..." Aku tak sanggup melanjutkan lirihan dalam hatiku. Aku semakin terisak. Tangan ku bergemetar. Kepalaku pening. Aku berharap saat itu aku pingsan saja, namun ternyata tidak. Aku ingin bergumam, namun bibirku kelu. Seperti terisolasi ribuan lakban. Lalu tiba-tiba saja,tangan Ahmad orang yg aku cintai hendak menyentuh tanganku namun ia urungkan. "Kita... sudahi saja semuanya." Ahmad berkata secara tertatih. Tak lugas seperti biasanya. Nampaknya, saat itu ia pun seperti tak rela melepasku. Aku menghela nafas panjang. Ku kuat kan azzamku. Dan aku menyetujuinya. Saat itu, tak ada kata-kata perpisahan ataupun kata-kata mesra lain yang terucap. Hanya sebuah senyuman dengan air mata terbendung yang terlihat. Dan kami pun berpisah. Entah kenapa, setelah aku memutuskan hubungan ini, aku merasa seperti melepaskan beban berat di pundakku. Sedih. Tentu saja aku sedih. Orang mana yang tidak sedih bila harus berpisah dengan orang yang dicintainya. Meski pedih namun inilah jalan yang harus aku dan dia lalui. Berjalan sesuai syariat-NYA. Itu mutlak harus dilakukan dan tidak ada tawar menawar. Karna itulah yang terbaik untuk kami. Meski hubungan kami bukanlah pacaran, namun kami sadar intensitas pertemuan kami sudah selayaknya insan yang berpacaran. Setelah kejadian itu, aku mulai belajar serius tentang bidang- bidang ilmu agama lainnya. Aku pun mulai melebarkan kerudungku, melonggarkan pakaianku, dan benar-benar menjaga muruah serta izzahku. Sebenarnya aku sudah berhijab lama sebelum aku mengenal Ahmad Qasam, namun belum sesyar'i saat ini ku rasa. Masih terbawa trendi arus zaman. Dikampus, aku pun mulai mengikuti kajian- kajian islami rutin. Menambah wawasan pikirku. Delapan bulan berlalu, aku benar-benar merasa menjadi pribadi yang berbeda. Dan Ahmad, aku tidak tau sedikitpun tentangnya. Sempat terbesit untuk menghubunginya, namun aku urungkan. Ya aku paksa urungkan. Biarlah Allaah yang mengatur segalanya. Aku benar-benar berpasrah diri. Bila rindu akannya meraja, aku hanya bisa berdoa pada- NYA di jannah IA pertemukan kami kembali. Pintaku sesederhana itu. Mengawali awal semester 8, saat itu usiaku 22 tahun. Aku disibukkan oleh segudang kegiatan untuk mempersiapkan skripsi ku. Sampai suatu hari ibu ku tiba- tiba memintaku untuk menikah. Usiaku sudah cukup katanya. Tentu saja aku menolaknya, dengan alasan aku ingin fokus pada skripsiku. Ibu pun memakluminya. Hari berganti hari, hingga akhirnya usailah masa kuliahku. Aku diwisuda. Beribu ucap syukur yang ada kala itu. "Alhamdulillah.." Ujarku saat itu. Ucapan selamat pun berdatangan kerumahku. Aku benar-benar bersyukur. Hanya saja, tiba- tiba wajah Ahmad melintas dibenakku. Dia tersenyum dan mengucapkan ucapan selamat padaku dengan manisnya. "Astaghfirullaah! Mikir apa aku ini." Aku beristighfar dan menepis angan-angan kosong itu. Kini aku bekerja di salah satu lembaga zakat indonesia, aku bahagia bekerja disana. Dikelilingi teman-teman sekantor yang seakidah dan yang terpenting waktu sholat kami di berikan waktu yang cukup lama, jadi kami tidak tergesa-gesa. Berbeda jika aku bekerja dikantoran. Ditempat ini, aku memiliki sahabat karib. Kami memang baru beberapa minggu saja bertemu, namun kami telah akrab. Namanya Hafla Naura Salsabila. Namun, aku biasa memanggilnya dengan Bulan. Panggilan kesayanganku untuknya. Aku memanggilnya bulan karna dia selalu melakukan banyak aktivitas di malam hari, mulai dari bertahajud, menghafal, membaca alqur'an, bahkan hampir setiap malam dia mendengar semua keluh kesahku. Ya, kami sekamar, semenjak bekerja aku memutuskan untuk mencari kontrakan. Agar mandiri tekadku. Hafla, dia benar-benar seperti rembulan buatku. Hadir dimalam hari dan menerangiku dengan ilmu- ilmu dinnya. Karnanya, aku pun menjadi seperti bulan juga. Ah tidak, mungkin aku hanya menjadi bintangnya saja, yang selalu mengiri keindahan bulan dimalam hari. Aku benar-benar menyanginya. Alhamdulillaah. Tahun ini, aku mendapat kabar kejutan dari orangtuaku. Aku diajak ta'aruf. Aku ingin menolaknya, namun aku tak kuasa. Bapak bilang ia adalah seorang yang berpendidikan dan yang terpenting dia sholih, insyaallaah. Mendengar kata sholih, akhwat mana yang tak bergembira. Aku pun sama, bergembira. Bersyukur. Awalnya aku sempat ragu, namun setelah istikharah. Akupun mantap untuk menyetujuinya. Hari untuk nadzar kami pun telah ditentukan. Sabtu ini dirumah kami, entah karna aku begitu bodohnya atau apa, aku sampai lupa menanyakan nama dari pria tersebut. Mungkin karna aku begitu bahagia mendengar kata sholih. hihihi.^^ Hari nadzor pun tiba, aku menggunakan kerududung dan gamis hijau. Aku berharap berpenampilan cantik tentu saja. Tak lama aku pun dipanggil keluar kamar. Sambil berjalan aku melihat pria bersahaja duduk. "Ah..mad?" Aku terkejut. "Na'am, ana Ahmad Qasam Amrul Haq." Ahmad menjawab dengan lugas disertai senyum manis diwajah teduhnya. "Subhanallaah..." Aku terkejut, langsung saja ku peluk ibu ku karna bahagianya. Dia, yang duduk disana.. calon suamiku nampak sangat berbeda. Celananya berbeda, tak isybal. Alhamdulillaah. Wajahnya pun berbeda, dia tampak teduh sekarang dengan janggut tipis di dagunya. Alhamdulillaah. Dia lebih alim, arif, dan berilmu. Alhamdulillaah. Hari walimah kami telah ditentukan, 2 minggu setelah pertemuan nadzor ini. Seminggu sebelum hari walimahku, aku menyempatkan diri untuk ke kontrakan ku untuk mengambil barang-barangku, dan tentu saja untuk bertemu dengan Hafla. Bulanku tercinta. Aku kesana untuk mengantarkan undangan special, harus datang paksa ku saat itu. Saat itu memang sedikit gelap;mendung. Namun tak sampai hujan. Dijalan, entah apa yang ku rasa. Sepertinya aku merasa pusing. Mungkin karna aku terlalu lelah menyiapkan walimahku. Tepat pukul 13.00 aku sampai di sebrang kontrakanku, ketika aku hendak melangkah tiba-tiba aku merasa pusing. Aku berjalan perlahan, tapi tiba-tiba saja tubuhku tertabrak sesuatu. Lalu gelap. Sesadarnya, aku berada dirumah sakit. Kepalaku sakit. Ibu menangis, Bapak juga. Aku tak mengerti. Ahmad. Ah ya, dia juga ada diruangan ini. Ahmad Qassam, calon suami tercintaku. Dia menangis juga. Ada apa. Kenapa semua menangis. Aku tak mengerti. Mulutku kelu. Kata ibu, sudah 3 hari aku koma. Saat itu aku tertabrak mobil dengan kecepatan tinggi. 4 Hari sebelum pernikahanku, aku masih berbaring dirumah sakit. Kaki ku patah. Entah apa yang akan terjadi pada walimahku, dalam 4 hari tak mungkinkan aku bisa sembuh total. Aku hanya pasrah. Sore itu, Ahmad datang menjenguk. Nampak wajah khawatir di guratan senyumnya. Aku katakan aku baik-baik saja, dan dia pun hanya mengangguk. Mungkin dia tau bahwa aku sedang berbohong. "walimah kita bagaimana?" tanya ku penuh tanya. "Akan ditunda sampai kau benar- benar sehat." jawabnya lugas. Aku bahagia meski sungkan. Aku meminta maaf, sungguh karna ku semua jadi tertunda. Dia hanya tersenyum. Manis. Tiba-tiba ada yang datang mengetuk pintu. Hafla, dia pun meminta izin untuk masuk. Dan aku pun mempersilakannya. Hafla berlari kearahku sambil menangis. Aku hanya tertawa. Aku katakan aku baik-baik saja. Lalu ku kenal kan ia pada Ahmad, calon suamiku. "Bulan, ini Ahmad calon suamiku. Dan Ahmad, ini Bulan eh Hafla teman karibku." Ucapku memperkenalkan mereka berdua. Mereka hanya tersenyum. Aneh pikirku. Dan saat itu juga, Ahmad pamit. Entah kenapa, saat itu aku melihat bulan tercinta ku murung. Apa karna aku yang sedang sakit? Aku rasa tidak. Tapi lalu aku abaikan. Karna mungkin hanya praduga ku saja. Tak lama, Hafla mendapat telfon lalu pamit dengan buru- buru. Tas laptop nya tertinggal. Aku memanggilnya namun ia tak mendengar. Karna berhari-hari dirumah sakit, dan merasa jenuh. Aku memutuskan untuk meminjam laptop Bulan ku. Aku biasa bertukar laptop sewaktu dikontrakan dulu. Jadi tidak apa-apa ku pikir untuk menggunakannya. Aku membukanya, namun aku menemukan sebuah blog yang belum di log-out. Aku membacanya. Aku pikir ini adalah karya tulisnya yang sedang ia persiapkan untuk salah satu majalah islami. Hafla adalah penulis lepas. Aku mulai membacanya. Ternyata aku salah. Ini adalah curahan hatinya. Aku tau, tak seharusnya ku baca ini. Namun aku bosan, jadi aku tetap membacanya. Aku kagum dengan tulisan- tulisanya. Menarik. Tapi... tiba- tiba aku shock ketika menemukan note 8 bulan yang lalu. Bukan karna tulisannya yang mengagumkan. Namun karna aku temukan nama Ahmad Qasam disana. Aku membaca goretan noktahnya dengan hati luka tersayat. Mereka.. ternyata mereka telah saling kenal. Bukan hanya itu. Di masa silam, mereka pernah berta'aruf dan hampir menikah pula. Namun karna orang tua Hafla ditahun itu telah mendaftar umrah, mereka pun memutuskan untuk menundanya. Hafla terus menanti hari dimana mereka berdua akan bersatu. Sampai tiba-tiba saja Ahmad dipindah tugas kan ke luar kota lalu menghilang tanpa kabar. Tapi Hafla tetap menunggunya, karna ia yakin Ahmad akan kembali, dan karna.. Aku menangis membacanya, karna Hafla terlanjur mencintainya. Seketika aku menutup laptopnya, dan lagi-lagi aku merasa gelap. Aku pingsan lagi. Kata ibuku saat itu. Ketika sadar, aku langsung menggenggam tangan ibuku. Lalu aku mengambil keputusan terberat dan memilukan untuk ku. Aku memutuskan untuk memutuskan hubungan ku dengan Ahmad, aku sama sekali tak menceritakan kejadian sebenarnya pada ibu ku. Aku tak ingin melihatnya kecewa. Aku juga tak ingin untuk yang kedua kalinya berpisah dengan Ahmad, namun aku pun tak kuasa melukai hati karibku, Bulan. Dia terlalu baik untuk disakiti. Aku memaksa diriku ikhlas. 2 hari lagi hari walimah kami, pagi itu aku mengajak Ahmad bicara empat mata serius. Aku menuntut cerita darinya. Cerita tentang ia dan Hafla. Awalnya ia tak mengakui hubungan nya dengan Hafla, karna memang ia tak ingin melukai hatiku. Katanya, antara Hafla dan dirinya sudah tak memiliki hubungan apa- apa lagi. Ta'aruf mereka telah lama usai, sampai sekarang dia menemukan kabar tentangku. Katanya, ia masih menyukaiku hingga sekarang. Namun tetap saja, aku tak ingin Hafla menangis terluka. Saat itu aku bingung. Aku memaksanya untuk memutuskan hubungan ini. Namun ia menolak. Saat itu juga Hafla datang, ia bingung mengapa aku menangis sedemikian rupa. Aku mengajaknya duduk bersama kami. Sebelum aku bicara lanjut, aku meminta maaf padanya karna telah lancang membuka laptop serta menbaca curahan hatinya. Lalu aku ceritakan semua benakku padanya, tentang rasa bersalahku padanya, tentang kebingunganku, tentang semuanya. Seketika Hafla menangis, ia memohon agar aku tak membatalkan pernikahan yang tinggal 2 hari itu. Aku katakan padanya, aku tak mungkin menikah dengan keadaan kaki ku masih patah seperti ini. Lalu aku meminta Hafla untuk menggantikanku. Entah ungkapan bodoh apa itu. Itu terlontar begitu saja dari mulutku. Aku menangis tersedu. Aku tak tau harus berbuat apa. Bila aku bisa berlari, ingin aku berlari ke manapun aku bisa. Namun aku tak bisa. Aku meninggalkan mereka berdua untuk bicara. Aku tak tau harus berbuat apa. Apapun keputusan mereka. Aku akan menerimanya. Tak lama mereka berdua menemuiku, mereka telah memutuskan agar aku melanjutkan pernikahanku, bahkan pernikahannya pun diurungkan untuk ditunda. Pernikahan akan tetap dilaksanakan apapun keadaan ku. Aku pun menerimanya meski dengan hati tersayat. Namun aku tak peduli, aku berusaha untuk mengapatiskan diri, aku telah memberikan pilihan untuk mereka sebelumnya. Dan mereka pun telah memilihnya. Mereka harus menerima apapun konsekuensnya, pikirku. Pernikahan kami pun berlangsung sederhana, dengan kaki ku masih ter-gif. Aku melihat Hafla hadir dipernikahanku, ia cukup tegar rupanya. Mungkin aku tak akan hadir bila menjadi dia. Aku takan sanggup melihat orang yang ku cintai bersanding dengan wanita yang lain. Namun bukan Hafla jika bersikap demikian, tegasku. Dimalam pernikahan kami, aku banyak mendengarkan cerita darinya. Aku pun menceritakan banyak hal padanya. Kami terus saja tertawa bahagia malam itu. Saat itu mungkin aku merasa menjadi wanita paling kejam sedunia. Karna aku bahagia diatas penderitaan teman karibku. Namun aku tepiskan itu, karna aku yakin temanku akan jauh menderita bila aku bersedih atasnya. Saat ini, aku dan Ahmad Qasam telah menjadi pasangan sah. Banyak hal yang bisa kami lakukan bersama dengan leluasa tentunya. Dan meski kami telah menikah, kami masih sering mengikuti seminar-seminar umum diantara kesibukan kami. Itu mengingatkan kami pada masa dahulu. Aku hanya bisa tersenyum. Di lima bulan pernikahan kami, aku mengandung anak pertama kami. Usianya baru 1 minggu, alhamdulillah keluarga kami bertambah bahagianya. Ahmad suami tercinta ku benar-benar memanjakan ku. Aku berhenti bekerja saat datang kehamilanku ini. Tak boleh terlalu lelah kata Ahmad, dan aku pun menurut. Sampai suatu malam, aku memimpikan Bulan ku. Dia terlihat sangat pucat dan lesu. Keesokannya ketika aku bangun, aku ceritakan hal itu pada suamiku. Aku mulai mengkhwatirkan Hafla. Setelah pernikahan kami, Hafla memutuskan untuk pindah ke luar kota. Namun ia tak katakan kemana. Ahmad bilang itu hanya sebuah mimpi, dan menyuruhku untuk tak khawatir. Namun aku tak bisa. Aku mulai mencari info tentang keberadaan Hafla. Dan aku mendapatkan alamatnya. Saat itu juga, aku dan Ahmad pergi menemuinya. Benar saja, ternyata keadaan Hafla tidak baik. Ia terlihat pucat sekali. Dan kurus. Aku menangis melihatnya. "Kau kenapa hafla??" Tanyaku sambil menangis dipeluknya. "Aku baik-baik saja kok." Jawab Hafla singkat. Aku tak percaya begitu saja. Aku tanyakan keadaan Hafla pada ibunya. Ibunya mengatakan, bahwa akhir- akhir ini ia berusaha keras melupakan Ahmad dengan melakukan banyak ibadah. Sampai terkadang ia tidak tidur. Aku menangis menangis tersedu mendengarnya. Malamnya kami pamit pulang. Tak sepatah katapun keluar bibir kami, aku dan suamiku. Sekarang, suamiku yang terlihat khawatir. Aku melihatnya benar-benar mengkhwatirkan Hafla. Dalam tahajudku malam ini, aku mencurahkan semuanya pada Allah. Hingga aku tertidur pulas di atas sajadahku. Esok paginya, aku melihat suamiku murung. Aku tanyakan mengapa dan ia katakan tidak ada apa-apa. Aku bingung. Semenjak kami bertemu Hafla, sikapnya berubah dingin padaku. Aku tak ambil pusing awalnya, karna ku fikir mungkin ini hanya sementara. Tapi ternyata perkiraanku salah. Sudah beberapa minggu ia dingin padaku. Aku bertanya padanya, apakah aku melakukan salah kepadanya. Namun ia katakan tak ada. Aku semakin bingung dibuatnya. Aku sedih. Lalu aku teringat Hafla, apa semua ini karna dia. Apa sekarang Ahmad menyesal menikahiku. Aku mengajak Ahmad bicara serius, tapi kami malah bertengkar. Ahmad bilang ia tak ingin diganggu saat ini. Sampai aku mendengar hal-hal yang tak ingin aku dengar. Ahmad, meminta ku untuk berpisah dengannya. Aku kaget, aku terkejut. Mengapa ia setega itu. Aku tanya apakah ini karna Hafla. Dan ia katakan ya. Aku langsung jatuh pingsan saat itu. Perutku sakit sekali, ah tidak. Ini tak sesakit hatiku. Ahmad datang dan meminta maaf padaku, ia berjanji takan melakukan hal ini lagi padaku. Ia menangis, ia katakan ia hanya terbawa emosi. Dan tentang Hafla, ia hanya merasa bersalah padanya karna ia menjadi seperti itu karna dia, karna suamiku. Aku tersenyum dan memaafkannya. Mungkin aku akan melakukan hal yang sama jika aku berada diposisinya. Ahmad menggenggam tanganku erat. Kini aku merasakan kehangatannya kembali. Aku hanya bisa menangis bahagia. Tapi tiba-tiba perut ku sakit lagi. Sakit sekali. Ahmad panik, ia lalu keluar memanggil dokter. Dokter datang dan langsung memeriksaku. Kata dokter aku keguguran. Seketika aku menjerit, aku menangis. Anakku. Dia telah pergi. Aku sedih, namun Ahmad lebih sedih. Katanya semua ini katanya. Aku semakin sedih dibuatnya. Aku katakan tak apa. Karna semua ini milik- NYA. Aku mencoba tegar. Satu minggu kemudian aku keluar dari rumah sakit. Aku sudah baik-baik saja alhamdulillah. Malamnya aku duduk berdua disudut kamar bersama Ahmad, kami bersenda gurau. Lalu aku bicara serius. Bagaimana kalau Ahmad menikahi Hafla. Ahmad terkejut. Aku katakan bahwa aku serius tak bercanda. Ahmad menolaknya. Aku terus saja membujuknya. Aku tau ini bukanlah hal yang mudah, dan sangat tak masuk akal ada istri meminta untuk di madu. Aku tau ini akan menyakitkan untukku, namun aku yakin suamiku mampu berlaku adil. Suamiku marah padaku, ia katakan bahwa ia takan pernah melakukan hal semacam itu. Tapi aku tak menyerah. Aku katakan aku mencintainya, akupun yakin bahwa ia pun mencintaiku. Tapi Hafla, aku benar-benar khawatir padanya, aku tak bisa bahagia diatas penderitaanya. Aku pun melihat satu hal dari mata suamiku. Aku melihat Ahmad merindukan hadirnya Hafla. Malam itu aku terus saja membujuknya, aku katakan bahwa aku menginginkan syurga atas hal ini. Suamiku menangis dan mendekapku erat, lalu ia katakan bahwa ia akan melakukannya. Aku bahagia mendengarnya. Dalam tahajudku, aku menangis, mengadu pada-NYA. Bahwa sungguh hatiku sakit. Meski aku yang meminta perihal ini, namun aku tak kuasa menahan pedihnya. Berbagi suami. Hal yang tak pernah ku bayangkan sebelumnya. Namun aku mencoba ikhlas. Aku bahagia. Ya aku harus bahagia. Ah tidak. Kami bertiga harus bahagia. Dihari pernikahan mereka, aku hanya mampu menahan haru dari balik tirai. Aku cemburu melihat mereka berdua tersenyum hangat. Air mataku terjatuh. Meski cemburu, namun aku bahagia. Dimalam pernikahan mereka, aku menyiapkan segala- galanya. Kamar pengantin ku hias sedemikian indahnya. Lalu mereka berdua datang, lantas memelukku. Aku bahagia memiliki kalian, aku katakan padanya. Lalu Ahmad menggenggam erat tanganku dan mengatakan bahwa ia mencintaiku. Aku tersenyum bahagia mendengarnya. Lalu aku bisikan di telinga Ahmad, suami yang aku sangat cintai.. bahwa rembulan ini untukmu, sayang.

Senin, 25 Februari 2013

AKU RINDU PADAMU IBU

S iapa yang menghapus air matamu saat tangismu berderai? Dengan tangan lembutnya perlahan dia usap air mata ini, dengan jutaan kasih. Siapakah yang memberi ciuman mesra saat kau kecil? Dengan uluran kasihnya dia cium kedua pipi kita. Disaat malam menjelma dia rela tidur dengan tanpa selimut demi anaknya, agar tak kedinginan. Dia yang membersihkan kotoran-kotoran yang tiap kali aku keluarkan tanpa rasa malu, dia bersihkan perlahan tanpa rasa jijik. Dia yang selalu menceritakanku tentang semua kisah di dunia ini sebelum mataku terlelap hiasi hening malam. Di pagi yang cerah dia selalu menggendongku kemana dia pergi, kasihnya sungguh tak ada batas. Ibu kau adalah malaikat ku yang mengajariku tentang semua dan kini aku tahu tentang segalanya. Di kala aku mulai dewasa dia yang selalu memberiku yang terbaik. Mengajariku saat aku belajar di malam hari. Ibu kini aku kesepian diantara langit malam hari, hanya langit gelap yang sanggup kutatap. kini aku harus menjalani hari-hari sepi tanpa mu. Aku ingati semuanya, kau yang selalu menjemputku penuh senyum tulus di muka pintu saat aku datang. Ibu aku rindu doa-doa tulusmu dari relung hatimu. Ibu doakanlah, aku kini sedang melangkah. Menjalani hariku demi citaku.ibu lepaslah kepergianku ini dengan uluran tangan dan sejuta maaf mu. Doamu ibu, selalu ku nanti. Mohon kan kepada Allahhu Robbi agar dia besertaku selalu di sela-sela hidup ku. Ibu lepaskanlah aku kelaut biru, akan ku arungi dan aku seberangi. Ingin rasanya aku merasakan saat indah bersamamu selalu. Namun kini aku jauh darimu. Ibu aku rindu senyum indahmu, ibu aku rindu kasih tulusmu , aku rindu cerita-ceritamu di malam menjelang tidurku,aku rindu suapan makanan yang kau suapkan padaku saat aku kecil dulu, aku rindu tidur dipangkuan mu. Ibu aku rindu saat –saat bersama mu.ibu andai waktu ini dapat diulang kembali akan aku persembahkan yang terbaik bagimu. Ibu maafkan aku anakmu ini, belum bisa bahagiakan mu. Ibu di pagi yang mulai menjelma ini, akan aku panjatkan doa bagimu. Ibu hanya doa yang mampu aku kirimkan untuk mu, aku tahu ini tak sebanding dengan kasihmu yang tulus padaku. Namun apa dayaku ibu,,,sesungguhnya akupun menyesal, aku belum berikan kepadamu yang terbaik. Andai kau kini ada dihadapanku. Aku rela bersujud dan mencium telapak kakimu yang mulia. Ibu maafkan anakmu ini ibu....anakmu yang selalu membuatmu gelisah ,,,,anakmu yang selalu membuatmu menangis karena tingkah brutal ku. Ya Robb ampuni dosa ibu ku Ya Rabb...berilah syurga yang tertinggi baginya. (jerit kerinduan) ingati selalu kasih sayang nya

AKU MENCINTAI ISTRIKU (cerita dari mbak mbak any)

Pagi itu aku marah pada istriku, aku sebel karena ia telat membangunkanku dan menyiapkan sarapan pagi untukku. Aku berangkat kerja tanpa memakan sarapan yang selesai dibuatnya, aku langsung pamit dan menuju mobilku tanpa berpamitan atau menunggu bekal yang biasanya disiapkan istriku setiap paginya. Ku lihat istriku berlari berusaha mengejar mobilku dan memberikan bekal itu padaku, tapi tak ku perdulikan dia dan tetap melajukan mobilku dengan kencang. Hari ini begitu sibuk di kantor, bahkan mengharuskanku menyelesaikan laporan hasil rapat pagi tadi. Rasanya bener2 hari yang menyebalkan. Pada jam makan siang pun tak sempat makan malah dimarahi atasan segala. Heemmmmzzzz,,, Masih syukur ada teman yang membawakan makanan untukku yang sejak pagi tak menelan ataupun meneguk sesuatu. Sorenya pukul 4.00 istriku menelpon. “ mau pulang jam berapa nanti yah ? biar ku siapkan makan malam kesukaan ayah ?”. “ tidak perlu, aku pulang malam banyak kerjaan”. Langsung ku tutup telpon dari istriku tanpa berkata apa2 lagi. Ku lanjutkan pekerjaanku dengan perasaan yang serba kesal dan marah. Karena biasanya aku pulang jam 6 sore dan jam 7 sudah sampai rumah, Istriku sudah menyiapkan makan malam untuk kami berdua. Di kantor aku tetap sibuk berkutat dengan tugasku yang harus selesai besok. Ku lirik jam di dinding menunjukkan pukul 9 malam. Rasanya malas juga mau pulang ke rumah apalagi bertemu dengan istriku yang selalu menghambur2kan uang. Selalu berangkat pagi dan pulang sore saat aku tak di rumah. Jam 11 lebih aku baru sampai rumah, ku pikir pasti istriku dah tidur di kamar dengan pulasnya. Ku buka pintu, ternyata istriku menungguku dan tertidur di shofa. Ku biarkan saja dia disana. Aku melangkah menuju kamar, ternyata di meja makan telah siap menu2 kesukaanku. Rasanya sudah tidak selera makan, Ku bantingkan tubuhku dikasurku dengan penuh rasa lelah hari ini. Ku lihat laptop pribadi istriku masih menyala. Aku tidak pernah lihat dia membukanya sejak menikah. Aku ambil dan mencoba membuka isinya..dan ternyata hanyalah diary istriku sejak SMA. Aku baca yang isinya sejak pertemuan kami dulu pertemuan kami dulu. 23 Oktober 2011 Tuhan, hari ini suamiku libur sebelum berangkat tugas ke luar negara. Hari yang seharusnya kami menghabiskan waktu bersama, tapi pagi2 sekali ia pergi pamit akan ke rumah rekan kerjanya. Rasanya entah kenapa aku tak rela ia pergi, dan ternyata dia menemui wanita lain disana. 20 November 2011 Hari ini suamiku akan berangkat tugas, aku mengantarkannya ke Bandara. Tanpa rasa curiga ku tanya pasword emailnya yang telah digantinya tanpa ku tahu. Dan malam harinya tak sengaja ku buka emailnya. Aku melihatnya berkirim email dengan wanita lain. Ya Allah, kuatkan aku...agar tetap mampu berpijak di penantian ini. Dan ternyata itu adalah wanita yang ditemuinya ketika pulang kemarin. Ya Allah buatlah aku percaya pada suami yang telah membohongiku selama ini. 30 November 2011 Suamiku dah tugas di negara orang,,Ya Allah, hari ini ada wanita lain lagi yang berkirim email pada suamiku menanyakan kabarnya di tempat tugas dan memanggilnya dengan sebutan “papah” .. saat ku tanyakan baik2 siapa wanita itu..suamiku justru memarahiku..ya Tuhan, kuatkan aku..aku mencintai suamiku. Aku tak ingin meninggalkannya.” Aku tak kuasa menitikkan air mata melihat diary istriku di laptopnya.. Ternyata istriku begitu tegarnya, ternyata dia tahu semua tentang hubunganku dengan wanita lain. Tapi dia tidak pernah menunjukkan kebenciannya padaku.Dia tetap tersenyum dan selalu tersenyum padaku. Dia tak membenciku yang telah membohonginya. Dia begitu setia padaku, tapi aku tak pernah menghiraukannya. Aku selalu memarahinya dan berkata kasar padanya. Tak sanggup lagi ku baca bait berikutnya, aku langsung berlari dan memeluk istriku yang tertidur di sofa dan berkata “ aku mencintaimu istriku”

SUARA PEREMPUAN TERTAWA DI KUBURAN...

sumpah ini kisah nyata, aku sendiri yg mengalaminya... .saat itu dirumahku lg mengadakan tahlilan atau ngaji selama 7hari, untung mengirim doa almarhum farel (adiku).. Klo tdak salah menjelang malam ketiga.. Sehabis ngaji aku disuruh nyiram air bunga ke makam almhum.. Aku ditemani oleh 2 orang sodaraku.. Sebut saja bolang dan pri (adik),, kami bertiga naik motor (bontong) dijalan kami ngobrol.. Dan sepakat untuk tdak takut dan jgn ada yang lari, sesampainya didpan makam aku memakirkan motor dipinggir kira2 jam 10malam.. Bolang dan pri masuk duluan dan aku nyusul di belakang, sesampenya dimakam yg kami tuju pri langsung duduk dan membaca doa.. Saat aku dan bolang mau duduk tiba2 terdengar suara aneh dari belakangku.. Spreti suara perempuan ketawa ngikrik.. Aku pun terdiam.. Mengamati suara itu.. Lama2 suara itu makin jelas.. Aku mulai merinding. Ku pegang kaos bolang agar tdk lari.. Lalu pri bangun dari duduknya.. Dan brjalan keluar akupun ikut dibelakangnya.. Tp suara perempuan ketawa itu masih jelas terdngar.. Aku lngsung putar motor.. Stater dan langsung ngibring pulang... ..kami bertiga dengar smua.. Itu benar2 suara kunti hiiíií.... ..amit amit jgn smpe ketemu... .. Takut ga.. AWAS..! Klo km ga takut gue jitak pale lu..

Minggu, 24 Februari 2013

CINTA SEORANG SUAMI KEPADA ISTRI

Aku membencinya, Itulah yang selalu kubisikkan dalam hatiku hampir sepanjang kebersamaan kami. Meskipun menikahinya, Aku tak pernah benar-benar menyerahkan hatiku padanya. Menikah karena paksaan orangtua, Membuatku membenci suamiku sendiri. Walaupun menikah terpaksa, Aku tak pernah menunjukkan sikap benciku. Meskipun membencinya, Setiap hari aku melayaninya sebagaimana tugas istri. Aku terpaksa melakukan semuanya karena aku tak punya pegangan lain. Beberapa kali muncul keinginan meninggalkannya tapi aku tak punya kemampuan finansial dan dukungan siapapun. Kedua orangtuaku sangat menyayangi suamiku karena menurut mereka, Suamiku adalah sosok suami sempurna untuk putri satu- satunya mereka. Ketika menikah, Aku menjadi istri yang teramat manja. Kulakukan segala hal sesuka hatiku. Suamiku juga memanjakanku sedemikian rupa. Aku tak pernah benar-benar menjalani tugasku sebagai seorang istri. Aku selalu bergantung padanya karena aku menganggap hal itu sudah seharusnya setelah apa yang ia lakukan padaku. Aku telah menyerahkan hidupku padanya sehingga tugasnyalah membuatku bahagia dengan menuruti semua keinginanku. Di rumah kami, Akulah ratunya. Tak ada seorangpun yang berani melawan. Jika ada sedikit saja masalah, Aku selalu menyalahkan suamiku. Aku tak suka handuknya yang basah yang diletakkan di tempat tidur, Aku sebal melihat ia meletakkan sendok sisa mengaduk susu di atas meja dan meninggalkan bekas lengket, Aku benci ketika ia memakai komputerku meskipun hanya untuk menyelesaikan pekerjaannya. Aku marah kalau ia menggantung bajunya di kapstock bajuku, Aku juga marah kalau ia memakai pasta gigi tanpa memencetnya dengan rapi, Aku marah kalau ia menghubungiku hingga berkali-kali ketika aku sedang bersenang-senang dengan teman-temanku. Tadinya aku memilih untuk tidak punya anak. Meskipun tidak bekerja, Tapi aku tak mau mengurus anak. Awalnya dia mendukung dan akupun ber-KB dengan pil. Tapi rupanya ia menyembunyikan keinginannya begitu dalam sampai suatu hari aku lupa minum pil KB dan meskipun ia tahu ia membiarkannya. Akupun hamil dan baru menyadarinya setelah lebih dari empat bulan, Dokterpun menolak menggugurkannya. Itulah kemarahanku terbesar padanya. Kemarahan semakin bertambah ketika aku mengandung sepasang anak kembar dan harus mengalami kelahiran yang sulit. Aku memaksanya melakukan tindakan vasektomi agar aku tidak hamil lagi. Dengan patuh ia melakukan semua keinginanku karena aku mengancam akan meninggalkannya bersama kedua anak kami. Waktu berlalu hingga anak-anak tak terasa berulang tahun yang ke-delapan. Seperti pagi-pagi sebelumnya, Aku bangun paling akhir. Suami dan anak-anak sudah menungguku di meja makan. Seperti biasa, Dialah yang menyediakan sarapan pagi dan mengantar anak- anak ke sekolah. Hari itu, Ia mengingatkan kalau hari itu ada peringatan ulang tahun ibuku. Aku hanya menjawab dengan anggukan tanpa mempedulikan kata- katanya yang mengingatkan peristiwa tahun sebelumnya, Saat itu aku memilih ke mal dan tidak hadir di acara ibu. Yaah, Karena merasa terjebak dengan perkimpoianku, Aku juga membenci kedua orangtuaku. Sebelum ke kantor, Biasanya suamiku mencium pipiku saja dan diikuti anak-anak. Tetapi hari itu, Ia juga memelukku sehingga anak-anak menggoda ayahnya dengan ribut. Aku berusaha mengelak dan melepaskan pelukannya. Meskipun akhirnya ikut tersenyum bersama anak-anak. Ia kembali mencium hingga beberapa kali di depan pintu Seakan-akan berat untuk pergi. Ketika mereka pergi, Akupun memutuskan untuk ke salon. Menghabiskan waktu ke salon adalah hobiku. Aku tiba di salon langgananku beberapa jam kemudian. Di salon aku bertemu salah satu temanku sekaligus orang yang tidak kusukai. Kami mengobrol dengan asyik termasuk saling memamerkan kegiatan kami. Tiba waktunya aku harus membayar tagihan salon. Namun betapa terkejutnya aku, Ketika menyadari bahwa dompetku tertinggal di rumah. Meskipun merogoh tasku hingga bagian terdalam aku tak menemukannya di dalam tas. Sambil berusaha mengingat-ingat apa yang terjadi hingga dompetku tak bisa kutemukan. Aku menelepon suamiku dan bertanya, “Maaf sayang, Kemarin Farhan meminta uang jajan dan aku tak punya uang kecil maka kuambil dari dompetmu. Aku lupa menaruhnya kembali ke tasmu, Kalau tidak salah aku letakkan di atas meja kerjaku.” Katanya menjelaskan dengan lembut. Dengan marah, Aku mengomelinya dengan kasar. Kututup telepon tanpa menunggunya selesai bicara. Tak lama kemudian, Handphoneku kembali berbunyi dan meski masih kesal, Akupun mengangkatnya dengan setengah membentak. “Apalagi??” “Sayang, Aku pulang sekarang, Aku akan ambil dompet dan mengantarnya padamu. Sayang sekarang ada dimana?” tanya suamiku cepat , Kuatir Aku menutup telepon kembali. Aku menyebut nama salonku dan tanpa menunggu jawabannya lagi, Aku kembali menutup telepon. Aku berbicara dengan kasir dan mengatakan bahwa suamiku akan datang membayarkan tagihanku. Si empunya Salon yang sahabatku sebenarnya sudah membolehkanku pergi dan mengatakan aku bisa membayarnya nanti kalau aku kembali lagi. Tapi rasa malu karena “musuh”ku juga ikut mendengarku ketinggalan dompet membuatku gengsi untuk berhutang dulu. Hujan turun ketika aku melihat keluar dan berharap mobil suamiku segera sampai. Menit berlalu menjadi jam, Aku semakin tidak sabar sehingga mulai menghubungi handphone suamiku. Tak ada jawaban meskipun sudah berkali-kali kutelepon. Padahal biasanya hanya dua kali berdering teleponku sudah diangkatnya. Aku mulai merasa tidak enak dan marah. Teleponku diangkat setelah beberapa kali mencoba. Ketika suara bentakanku belum lagi keluar, Terdengar suara asing menjawab telepon suamiku. Aku terdiam beberapa saat sebelum suara lelaki asing itu memperkenalkan diri, “Selamat siang, ibu. Apakah ibu istri dari bapak armandi?” Kujawab pertanyaan itu segera. Lelaki asing itu ternyata seorang polisi, Ia memberitahu bahwa suamiku mengalami kecelakaan dan saat ini ia sedang dibawa ke rumah sakit kepolisian. Saat itu aku hanya terdiam dan hanya menjawab terima kasih. Ketika telepon ditutup, aku berjongkok dengan bingung. Tanganku menggenggam erat handphone yang kupegang dan beberapa pegawai salon mendekatiku dengan sigap bertanya ada apa hingga wajahku menjadi pucat seputih kertas. Entah bagaimana akhirnya aku sampai di rumah sakit. Entah bagaimana juga tahu- tahu seluruh keluarga hadir di sana menyusulku. Aku yang hanya diam seribu bahasa menunggu suamiku di depan ruang gawat darurat. Aku tak tahu harus melakukan apa karena selama ini dialah yang melakukan segalanya untukku. Ketika akhirnya setelah menunggu beberapa jam, tepat ketika kumandang adzan maghrib terdengar seorang dokter keluar dan menyampaikan berita itu. Suamiku telah tiada. Ia pergi bukan karena kecelakaan itu sendiri, Serangan stroke-lah yang menyebabkan kematiannya. Selesai mendengar kenyataan itu, Aku malah sibuk menguatkan kedua orangtuaku dan orangtuanya yang shock. Sama sekali tak ada airmata setetespun keluar di kedua mataku. Aku sibuk menenangkan ayah ibu dan mertuaku. Anak-anak yang terpukul memelukku dengan erat tetapi kesedihan mereka sama sekali tak mampu membuatku menangis. Ketika jenazah dibawa ke rumah dan aku duduk di hadapannya, Aku termangu menatap wajah itu. Kusadari baru kali inilah aku benar-benar menatap wajahnya yang tampak tertidur pulas. Kudekati wajahnya dan kupandangi dengan seksama. Saat itulah dadaku menjadi sesak teringat apa yang telah ia berikan padaku selama sepuluh tahun kebersamaan kami. Kusentuh perlahan wajahnya yang telah dingin dan kusadari inilah kali pertama kali aku menyentuh wajahnya yang dulu selalu dihiasi senyum hangat. Airmata merebak dimataku, Mengaburkan pandanganku. Aku terkesiap berusaha mengusap agar airmata tak menghalangi tatapan terakhirku padanya, Aku ingin mengingat semua bagian wajahnya agar kenangan manis tentang suamiku tak berakhir begitu saja. Tapi bukannya berhenti, Airmataku semakin deras membanjiri kedua pipiku. Peringatan dari imam masjid yang mengatur prosesi pemakaman tidak mampu membuatku berhenti menangis. Aku berusaha menahannya, Tapi dadaku sesak mengingat apa yang telah kuperbuat padanya terakhir kali kami berbicara. Aku teringat betapa aku tak pernah memperhatikan kesehatannya. Aku hampir tak pernah mengatur makannya. Padahal ia selalu mengatur apa yang kumakan. Ia memperhatikan vitamin dan obat yang harus kukonsumsi terutama ketika mengandung dan setelah melahirkan. Ia tak pernah absen mengingatkanku makan teratur, bahkan terkadang menyuapiku kalau aku sedang malas makan. Aku tak pernah tahu apa yang ia makan karena aku tak pernah bertanya. Bahkan aku tak tahu apa yang ia sukai dan tidak disukai. Hampir seluruh keluarga tahu bahwa suamiku adalah penggemar mie instant dan kopi kental. Dadaku sesak mendengarnya, Karena aku tahu ia mungkin terpaksa makan mie instant karena aku hampir tak pernah memasak untuknya. Aku hanya memasak untuk anak-anak dan diriku sendiri. Aku tak perduli dia sudah makan atau belum ketika pulang kerja. Ia bisa makan masakanku hanya kalau bersisa. Ia pun pulang larut malam setiap hari karena dari kantor cukup jauh dari rumah. Aku tak pernah mau menanggapi permintaannya untuk pindah lebih dekat ke kantornya karena tak mau jauh-jauh dari tempat tinggal teman-temanku. Saat pemakaman, Aku tak mampu menahan diri lagi. Aku pingsan ketika melihat tubuhnya hilang bersamaan onggokan tanah yang menimbun. Aku tak tahu apapun sampai terbangun di tempat tidur besarku. Aku terbangun dengan rasa sesal memenuhi rongga dadaku. Keluarga besarku membujukku dengan sia-sia karena mereka tak pernah tahu mengapa aku begitu terluka kehilangan dirinya. Hari-hari yang kujalani setelah kepergiannya bukanlah kebebasan seperti yang selama ini kuinginkan tetapi aku malah terjebak di dalam keinginan untuk bersamanya. Di hari-hari awal kepergiannya, Aku duduk termangu memandangi piring kosong. Ayah, Ibu dan ibu mertuaku membujukku makan. Tetapi yang kuingat hanyalah saat suamiku membujukku makan kalau aku sedang mengambek dulu. Ketika aku lupa membawa handuk saat mandi, aku berteriak memanggilnya seperti biasa dan ketika malah ibuku yang datang, Aku berjongkok menangis di dalam kamar mandi berharap ia yang datang. Kebiasaanku yang meneleponnya setiap kali aku tidak bisa melakukan sesuatu di rumah, Membuat teman kerjanya kebingungan menjawab teleponku. Setiap malam aku menunggunya di kamar tidur dan berharap esok pagi aku terbangun dengan sosoknya di sebelahku. Dulu aku begitu kesal kalau tidur mendengar suara dengkurannya, Tapi sekarang aku bahkan sering terbangun karena rindu mendengarnya kembali. Dulu aku kesal karena ia sering berantakan di kamar tidur kami, Tetapi kini aku merasa kamar tidur kami terasa kosong dan hampa. Dulu aku begitu kesal jika ia melakukan pekerjaan dan meninggalkannya di laptopku tanpa me-log out, Sekarang aku memandangi komputer, Mengusap tuts- tutsnya berharap bekas jari- jarinya masih tertinggal di sana. Dulu aku paling tidak suka ia membuat kopi tanpa alas piring di meja, Sekarang bekasnya yang tersisa di sarapan pagi terakhirnyapun tidak mau kuhapus. Remote televisi yang biasa disembunyikannya, Sekarang dengan mudah kutemukan meski aku berharap bisa mengganti kehilangannya dengan kehilangan remote. Semua kebodohan itu kulakukan karena aku baru menyadari bahwa dia mencintaiku dan aku sudah terkena panah cintanya. Aku juga marah pada diriku sendiri, Aku marah karena semua kelihatan normal meskipun ia sudah tidak ada. Aku marah karena baju-bajunya masih di sana meninggalkan baunya yang membuatku rindu. Aku marah karena tak bisa menghentikan semua penyesalanku. Aku marah karena tak ada lagi yang membujukku agar tenang, Tak ada lagi yang mengingatkanku sholat meskipun kini kulakukan dengan ikhlas. Aku sholat karena aku ingin meminta maaf, Meminta maaf pada Allah karena menyia- nyiakan suami yang dianugerahi padaku, Meminta ampun karena telah menjadi istri yang tidak baik pada suami yang begitu sempurna. Sholatlah yang mampu menghapus dukaku sedikit demi sedikit. Cinta Allah padaku ditunjukkannya dengan begitu banyak perhatian dari keluarga untukku dan anak-anak. Teman-temanku yang selama ini kubela- belakan, Hampir tak pernah menunjukkan batang hidung mereka setelah kepergian suamiku. Empat puluh hari setelah kematiannya, Keluarga mengingatkanku untuk bangkit dari keterpurukan. Ada dua anak yang menungguku dan harus kuhidupi. Kembali rasa bingung merasukiku. Selama ini aku tahu beres dan tak pernah bekerja. Semua dilakukan suamiku. Berapa besar pendapatannya selama ini aku tak pernah peduli, yang kupedulikan hanya jumlah rupiah yang ia transfer ke rekeningku untuk kupakai untuk keperluan pribadi dan setiap bulan uang itu hampir tak pernah bersisa. Dari kantor tempatnya bekerja, Aku memperoleh gaji terakhir beserta kompensasi bonusnya. Ketika melihatnya aku terdiam tak menyangka, Ternyata seluruh gajinya ditransfer ke rekeningku selama ini. Padahal aku tak pernah sedikitpun menggunakan untuk keperluan rumah tangga. Entah darimana ia memperoleh uang lain untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga karena aku tak pernah bertanya sekalipun soal itu.Yang aku tahu sekarang aku harus bekerja atau anak-anakku takkan bisa hidup karena jumlah gaji terakhir dan kompensasi bonusnya takkan cukup untuk menghidupi kami bertiga. Tapi bekerja di mana ? Aku hampir tak pernah punya pengalaman sama sekali. Semuanya selalu diatur oleh dia. Kebingunganku terjawab beberapa waktu kemudian. Ayahku datang bersama seorang notaris. Ia membawa banyak sekali dokumen. Lalu notaris memberikan sebuah surat. Surat pernyataan suami bahwa ia mewariskan seluruh kekayaannya padaku dan anak-anak, Ia menyertai ibunya dalam surat tersebut tapi yang membuatku tak mampu berkata apapun adalah isi suratnya untukku. Istriku Liliana tersayang, Maaf karena harus meninggalkanmu terlebih dahulu. Maaf karena harus membuatmu bertanggung jawab mengurus segalanya sendiri. Maaf karena aku tak bisa memberimu cinta dan kasih sayang lagi. Allah memberiku waktu yang terlalu singkat karena mencintaimu dan anak-anak adalah hal terbaik yang pernah kulakukan untukmu. Seandainya aku bisa, Aku ingin mendampingi sayang selamanya. Tetapi aku tak mau kalian kehilangan kasih sayangku begitu saja. Selama ini aku telah menabung sedikit demi sedikit untuk kehidupan kalian nanti. Aku tak ingin sayang susah setelah aku pergi. Tak banyak yang bisa kuberikan tetapi aku berharap sayang bisa memanfaatkannya untuk membesarkan dan mendidik anak-anak. Lakukan yang terbaik untuk mereka, Ya sayang. Jangan menangis, Sayangku yang manja. Lakukan banyak hal untuk membuat hidupmu yang terbuang percuma selama ini. Aku memberi kebebasan padamu untuk mewujudkan mimpi-mimpi yang tak sempat kau lakukan selama ini. Maafkan kalau aku menyusahkanmu dan semoga Tuhan memberimu jodoh yang lebih baik dariku. Teruntuk Farah, Putri tercintaku. Maafkan karena ayah tak bisa mendampingimu. Jadilah istri yang baik seperti Ibu. Dan Farhan, Ksatria pelindungku. Jagalah Ibu dan Farah. Jangan jadi anak yang bandel lagi dan selalu ingat dimanapun kalian berada, ayah akan disana melihatnya. Oke! Aku terisak membaca surat itu, Ada gambar kartun dengan kacamata yang diberi lidah menjulur khas suamiku kalau ia mengirimkan note. Notaris memberitahu bahwa selama ini suamiku memiliki beberapa asuransi dan tabungan deposito dari hasil warisan ayah kandungnya. Suamiku membuat beberapa usaha dari hasil deposito tabungan tersebut dan usaha tersebut cukup berhasil meskipun dimanajerin oleh orang- orang kepercayaannya. Aku hanya bisa menangis terharu mengetahui betapa besar cintanya pada kami, Sehingga ketika ajal menjemputnya ia tetap membanjiri kami dengan cinta. Aku tak pernah berpikir untuk menikah lagi. Banyaknya lelaki yang hadir tak mampu menghapus sosoknya yang masih begitu hidup di dalam hatiku. Hari demi hari hanya kuabdikan untuk anak- anakku. Ketika orangtuaku dan mertuaku pergi satu persatu meninggalkanku selaman-lamanya, Tak satupun meninggalkan kesedihan sedalam kesedihanku saat suamiku pergi. Kini kedua putra putriku berusia duapuluh tiga tahun. Dua hari lagi putriku menikah dengan seorang pemuda dari tanah seberang. Putri kami bertanya, “Ibu, aku harus bagaimana nanti setelah menjadi istri, soalnya Farah kan ga bisa masak, ga bisa nyuci, gimana ya bu?” Aku merangkulnya sambil berkata, “Cinta sayang, cintailah suamimu, Cintailah pilihan hatimu, Cintailah apa yang ia miliki dan kau akan mendapatkan segalanya. Karena cinta, Kau akan belajar menyenangkan hatinya, Akan belajar menerima kekurangannya, Akan belajar bahwa sebesar apapun persoalan, Kalian akan menyelesaikannya atas nama cinta.” Putriku menatapku, “Aeperti cinta ibu untuk ayah ? Cinta itukah yang membuat ibu tetap setia pada ayah sampai sekarang?” Aku menggeleng, “Bukan, sayangku. Cintailah suamimu seperti ayah mencintai ibu dulu, Seperti ayah mencintai kalian berdua. Ibu setia pada ayah karena cinta ayah yang begitu besar pada ibu dan kalian berdua.” Aku mungkin tak beruntung karena tak sempat menunjukkan cintaku pada suamiku. Aku menghabiskan sepuluh tahun untuk membencinya, Tetapi menghabiskan hampir sepanjang sisa hidupku untuk mencintainya. Aku bebas darinya karena kematian, Tapi aku tak pernah bisa bebas dari cintanya yang begitu tulus.

Sabtu, 23 Februari 2013

NURJANAH (CAHAYA SURGA)

dia'lah nur.. (nurjanah),,, ..dia yg sllu berkorban untuk'ku.. .dia memberikan semua apa yg aku inginkan. .Dia perhatian.. .dia wanita yg hebat.. .dia selalu ada untuk'ku.. .dia terima aku apa adanya.. .dia tdak brgantung pada orang lain, .dia slalu berusaha untuk mendapatkan apa yg dia inginkan. .dia sangat istimewa. Dia lucu, .dia segala'nya,, .dia sangat baik padaku.. .apa'pun yg aku tunjuk dia memberikan. .sangat besar pengorbananmu.. .dia setia, .dia relakan smuanya demi aku.. .dia korbankan smua demi aku. .tapi... .aku slalu membohonginya. .aku tdak jujur sama dia .aku selingku, .aku memanfaatkan dia, .aku tdak pedulikan dia, .aku tdk memperhatikan dia. .aku tdak pernah puas.. Aku sering menyakiti hatinya. .aku sering membuat dia menangis.. ..NUR.. maafkan aku ya.. Aku janji akan merubah sikapku.. .aku sangat menyayangimu. .. I LOVE U ..

Rabu, 20 Februari 2013

OCEHAN ANAK MUDA

tak batuk dulu yah "uhuk uhuk.!! Hem.. . . Selama perjalanan cinta'ku aku dah sering dan banyak mengenal wanita.. Dari yg biasa sampe yg luar biasa, beberapa wanita memang pernah mengisih kehidupan'ku tidak banyak sih cm 7 eh 8.. Hahaha.. .. Tp smua cm lewat.. Tak ada yg betah dan cocok dgn kehidupan yg kujalani.. Dan cara putus'nya jg macam2. Ada yg ninggalin dan ada jg yg kutinggalin.. Jujur selama bergaul aku pernah ditampar oleh wanita^ pipi kanan 2X pipi kiri 1X.. Tp kini aku sadar.. Aku capek dan merasa berdosa bila aku terus begini.. Hidup tidak tenang. Klo malam sllu gelisah.. Hahaha.. Itu'lah anak mudah.. Hmmm... . Tp kali ini aku kenal sm seorang wanita yg benar2 mampu menggetarkan hatiku dan mengacak ngacak pikiran'ku.. Sehari tak chat dgn dia fb'ku terasa sepi.. .. Yaaa tp aku ga berharap bnyak.. Aku kenal dia saja aku dah senang.. .. Tp aku lebih mementing persahabatan.. Karna persahabatan akan selalu abadi.. . Wis ah.. Tak adus ndisek.. ..jin ketawa mbuahahahahaha... .. #bezita