Selasa, 26 Februari 2013
ADISTY ADELIA.. Gadis rembulan
Adisty Adelia nama ku,
seorang mahasiswi semester 6
jurusan akuntansi di salah satu
perguruan tinggi swasta di
Jakarta. Beberapa tahun ini
aku sedang dekat dengan seorang pria yang sangat aku
cintai, Ahmad Qasam Amrul
Haq namanya. Mahasiswa
tingkat akhir jurusan sastra
arab di kampus Negri
Perguruan tinggi Jakarta pula. Kedekatan kami bukan dalam
hubungan pacaran, emmm
ta'aruf pun bukan. Namun
aku tau, kami memiliki
hubungan yang tak biasa. Tak
sekedar teman ataupun rekanan mahasiswa. Entahlah,
mungkin bisa dikatakan
hubungan tanpa status. Yang
aku tau, aku menyukainya
dan ia pun sama, ya kurasa Ia
menyukaiku. Mulanya, kami tak sengaja
bertemu di sebuah seminar
umum yang mengkaji
mengenai Belajar Sastra dan
Bahasa arab Alqur'an di salah
satu perguruan tinggi ilmu qur'an ternama di Jakarta.
Meski aku bukan mahasiswi
yang bergelut didunia sastra,
namun aku selalu tertarik
untuk belajar dan
mengkajinya. Bagiku, ini adalah suatu hal yang sangat
menyenangkan. Aku selalu
kagum dengan semua orang
yang bergelut didunia ini.
Menurutku mereka keren!.
Karna aku tau, bukan suatu hal yang mudah untuk
menguasainya, sastra arab.
Pikirku, aku ingin menjadi
bagian diantara orang-orang
keren itu. hihiiiiii. Saat berlangsungnya seminar
itu aku sangat menikmati
kajian materinya, sangat
bagus dan berbobot. Sampai
pada saat dimulainya sesi
tanya jawab, seorang mahasiswa berkacamata
melontarkan sebuah
pertanyaan dengan lugas.
"Degggggggh..." tiba-tiba saja,
entah kenapa seperti ada yang
menghujam jantungku. Bukan karna fisiknya atau
kacamata yang ia gunakan
saat itu, tapi karna lontaran
pertanyaan dan tentu saja
karna bahasa arab yang ia
gunakan adalah bahasa arab urdu yang tak biasa. Sangat
keren bagiku. Sampai seusai
seminar umum itu aku nekat
untuk berkenalan dengannya
dengan dalih ingin belajar
bahasa arab urdu itu dengannya. Ah itu tak hanya
sekedar dalih, namun aku
benar-benar ingin
menguasainnya. Tentu saja
salah satu cara untuk aku bisa
menguasainya adalah dengan menjadikan dia sebagai
guruku.^^ Dari peristiwa itu, aku dan dia
mulai menjadi partner belajar
bahasa arab, seminggu sekali
kami kami selalu meluangkan
waktu itu itu. Dan tak hanya
belajar tentang itu, kami juga sering membahas ilmu-ilmu
lainnya, ilmu apa saja.
Kegiatan ini berlangsung
cukup lama, hampir 2 tahun
kurasa. Hingga hubungan
kami berubah status menjadi hubungan yang tak biasa.
Dalam suka-duka, ia lah orang
pertama yang ingin aku
temui. Dia pun sama, teman-
teman kami, bahkan keluarga
kami pun sudah saling mengenal. Ya, bisa kupastikan
kami memiliki hubungan
yang tak biasa. Pacaran, sempat kata itu
menjadi perbincangan hangat
dan membahagiakan saat itu
untuk kami. Namun, kami tak
lakukan itu. Karna baik aku
maupun dia sudah sama-sama mengerti tentang keharaman
hubungan itu. Lalu hubungan
kami?? ya aku tau, bahwa
hubungan kami tak bedanya
dengan hubungan terlarang
itu, hanya status namanya saja lah yang berbeda. Tapi dapat kami tegaskan,
kami tak pernah melakukan
hal-hal yang dilakukan orang-
orang berpacaran lainnya.
Kami tau batasan-batasan
dalam bergaul. Kami tak pernah sekalipun berpegang
tangan, pertemuan kami pun
selalu ditempat-tempat ramai.
Entahlah, aku dapat
memastikan hal-hal itu kecuali
satu hal. Hati kami. Meski kami saling suka, namun kami
tetap menjaga rasa. Pikirku
saat itu. Kami saling berkata,
bahwa saat indah nanti kelak
kita akan bersama. Hanya tak
sekarang, dan untuk saat itu biarkan hubungan kami
berjalan seperti sekarang.
Akupun menyutujuinya,
karna jujur aku tak sanggup
berpisah darinya. Aku telah
benar-benar mencintainya. Lambat laun, hubungan kami
semakin manis.. bukan karna
kami semakin dekat. Bukan.
Sama sekali bukan. Justru
karna kami telah berpisah. Ya
kami berpisah. Benar-benar berpisah. Dan status hubungan
kami pun menjadi jelas. Tanpa
status apapun. Aku katakan
ini manis, memang bagi kami
ini adalah hubungan yang
manis. Ah sangat manis sepertinya.^^ Setahun belakangan kemarin
sebelum kami berpisah, kami
aktif untuk menghadiri
seminar-seminar umum
diberbagai perguruan tinggi.
Tentu saja aku melakukannya bersama dia, Ahmad Qasam
orang yang ku cintai.
Kecintaan kami terhadap
sastra melebar ke ilmu-ilmu
lainnya, salah satunya adalah
fikih. Entah mengapa sejak kami mengikuti berbagai
seminar yang membahas
tentang kajian fikih,
membuat kami sangat
tertarik untuk mengkaji
mengenai kajian fikih itu lebih dalam dan dalam lagi. Kami
berdua seperti terhipnotis
dibuatnya. Mungkin karna
dalam kitab fikih
menggunakan bahasa arab
yang membuat kami lebih bersemangat. Hingga sampai suatu hari,
kami menyadari bahwa ada
yang salah dengan hubungan
kami. Dalam kitab fikih itu
dijelaskan dengan jelas
tentang bagaimana seharusnya pria dan wanita
yang bukan mahrom
berhubungan. Dalil-dalinya
pun dengan jelas tertera
disana. Saat itu kami diam dan
hanya saling menatap. Benar- benar menjadi perenungan
panjang buat kami. Hingga
tak lama, aku meneteskan air
mata. Dalam diam, berjuta
pertanyaan berkecamuk
didada. "Salahkah hubungan ini?? lalu
apa harus kuakhiri, tapi aku
sangat mencintainya...
sungguh. Aku harus
bagaimana?? tapi bila lanjut,
aku tau ini dilarang oleh agama. Hubungan kami.. salah!
tapi aku mencin..." Aku tak
sanggup melanjutkan lirihan
dalam hatiku. Aku semakin
terisak. Tangan ku
bergemetar. Kepalaku pening. Aku berharap saat itu aku
pingsan saja, namun ternyata
tidak. Aku ingin bergumam,
namun bibirku kelu. Seperti
terisolasi ribuan lakban. Lalu
tiba-tiba saja,tangan Ahmad orang yg aku cintai hendak
menyentuh tanganku namun
ia urungkan. "Kita... sudahi saja semuanya."
Ahmad berkata secara
tertatih. Tak lugas seperti
biasanya. Nampaknya, saat itu
ia pun seperti tak rela
melepasku. Aku menghela nafas panjang. Ku kuat kan
azzamku. Dan aku
menyetujuinya. Saat itu, tak ada kata-kata
perpisahan ataupun kata-kata
mesra lain yang terucap.
Hanya sebuah senyuman
dengan air mata terbendung
yang terlihat. Dan kami pun berpisah. Entah kenapa,
setelah aku memutuskan
hubungan ini, aku merasa
seperti melepaskan beban
berat di pundakku. Sedih.
Tentu saja aku sedih. Orang mana yang tidak sedih bila
harus berpisah dengan orang
yang dicintainya. Meski pedih
namun inilah jalan yang harus
aku dan dia lalui. Berjalan
sesuai syariat-NYA. Itu mutlak harus dilakukan dan
tidak ada tawar menawar.
Karna itulah yang terbaik
untuk kami. Meski hubungan
kami bukanlah pacaran,
namun kami sadar intensitas pertemuan kami sudah
selayaknya insan yang
berpacaran. Setelah kejadian itu, aku mulai
belajar serius tentang bidang-
bidang ilmu agama lainnya.
Aku pun mulai melebarkan
kerudungku, melonggarkan
pakaianku, dan benar-benar menjaga muruah serta
izzahku. Sebenarnya aku
sudah berhijab lama sebelum
aku mengenal Ahmad Qasam,
namun belum sesyar'i saat ini
ku rasa. Masih terbawa trendi arus zaman. Dikampus, aku
pun mulai mengikuti kajian-
kajian islami rutin. Menambah
wawasan pikirku. Delapan bulan berlalu, aku
benar-benar merasa menjadi
pribadi yang berbeda. Dan
Ahmad, aku tidak tau
sedikitpun tentangnya.
Sempat terbesit untuk menghubunginya, namun aku
urungkan. Ya aku paksa
urungkan. Biarlah Allaah yang
mengatur segalanya. Aku
benar-benar berpasrah diri.
Bila rindu akannya meraja, aku hanya bisa berdoa pada-
NYA di jannah IA
pertemukan kami kembali.
Pintaku sesederhana itu. Mengawali awal semester 8,
saat itu usiaku 22 tahun. Aku
disibukkan oleh segudang
kegiatan untuk
mempersiapkan skripsi ku.
Sampai suatu hari ibu ku tiba- tiba memintaku untuk
menikah. Usiaku sudah cukup
katanya. Tentu saja aku
menolaknya, dengan alasan
aku ingin fokus pada
skripsiku. Ibu pun memakluminya. Hari berganti hari, hingga
akhirnya usailah masa
kuliahku. Aku diwisuda.
Beribu ucap syukur yang ada
kala itu. "Alhamdulillah.."
Ujarku saat itu. Ucapan selamat pun berdatangan
kerumahku. Aku benar-benar
bersyukur. Hanya saja, tiba-
tiba wajah Ahmad melintas
dibenakku. Dia tersenyum dan
mengucapkan ucapan selamat padaku dengan manisnya.
"Astaghfirullaah! Mikir apa
aku ini." Aku beristighfar dan
menepis angan-angan kosong
itu. Kini aku bekerja di salah satu
lembaga zakat indonesia, aku
bahagia bekerja disana.
Dikelilingi teman-teman
sekantor yang seakidah dan
yang terpenting waktu sholat kami di berikan waktu yang
cukup lama, jadi kami tidak
tergesa-gesa. Berbeda jika aku
bekerja dikantoran. Ditempat ini, aku memiliki
sahabat karib. Kami memang
baru beberapa minggu saja
bertemu, namun kami telah
akrab. Namanya Hafla Naura
Salsabila. Namun, aku biasa memanggilnya dengan Bulan.
Panggilan kesayanganku
untuknya. Aku
memanggilnya bulan karna
dia selalu melakukan banyak
aktivitas di malam hari, mulai dari bertahajud, menghafal,
membaca alqur'an, bahkan
hampir setiap malam dia
mendengar semua keluh
kesahku. Ya, kami sekamar,
semenjak bekerja aku memutuskan untuk mencari
kontrakan. Agar mandiri
tekadku. Hafla, dia benar-benar seperti
rembulan buatku. Hadir
dimalam hari dan
menerangiku dengan ilmu-
ilmu dinnya. Karnanya, aku
pun menjadi seperti bulan juga. Ah tidak, mungkin aku
hanya menjadi bintangnya
saja, yang selalu mengiri
keindahan bulan dimalam hari.
Aku benar-benar
menyanginya. Alhamdulillaah. Tahun ini, aku mendapat
kabar kejutan dari
orangtuaku. Aku diajak
ta'aruf. Aku ingin
menolaknya, namun aku tak
kuasa. Bapak bilang ia adalah seorang yang berpendidikan
dan yang terpenting dia
sholih, insyaallaah. Mendengar
kata sholih, akhwat mana
yang tak bergembira. Aku
pun sama, bergembira. Bersyukur. Awalnya aku
sempat ragu, namun setelah
istikharah. Akupun mantap
untuk menyetujuinya. Hari untuk nadzar kami pun
telah ditentukan. Sabtu ini
dirumah kami, entah karna
aku begitu bodohnya atau
apa, aku sampai lupa
menanyakan nama dari pria tersebut. Mungkin karna aku
begitu bahagia mendengar
kata sholih. hihihi.^^ Hari nadzor pun tiba, aku
menggunakan kerududung
dan gamis hijau. Aku
berharap berpenampilan
cantik tentu saja. Tak lama
aku pun dipanggil keluar kamar. Sambil berjalan aku
melihat pria bersahaja duduk. "Ah..mad?" Aku terkejut.
"Na'am, ana Ahmad Qasam
Amrul Haq." Ahmad
menjawab dengan lugas
disertai senyum manis
diwajah teduhnya. "Subhanallaah..." Aku
terkejut, langsung saja ku
peluk ibu ku karna
bahagianya. Dia, yang duduk
disana.. calon suamiku
nampak sangat berbeda. Celananya berbeda, tak isybal.
Alhamdulillaah. Wajahnya
pun berbeda, dia tampak
teduh sekarang dengan
janggut tipis di dagunya.
Alhamdulillaah. Dia lebih alim, arif, dan berilmu.
Alhamdulillaah. Hari walimah kami telah
ditentukan, 2 minggu setelah
pertemuan nadzor ini.
Seminggu sebelum hari
walimahku, aku
menyempatkan diri untuk ke kontrakan ku untuk
mengambil barang-barangku,
dan tentu saja untuk bertemu
dengan Hafla. Bulanku
tercinta. Aku kesana untuk
mengantarkan undangan special, harus datang paksa ku
saat itu. Saat itu memang
sedikit gelap;mendung.
Namun tak sampai hujan.
Dijalan, entah apa yang ku
rasa. Sepertinya aku merasa pusing. Mungkin karna aku
terlalu lelah menyiapkan
walimahku. Tepat pukul 13.00 aku sampai
di sebrang kontrakanku,
ketika aku hendak
melangkah tiba-tiba aku
merasa pusing. Aku berjalan
perlahan, tapi tiba-tiba saja tubuhku tertabrak sesuatu.
Lalu gelap. Sesadarnya, aku
berada dirumah sakit. Kepalaku sakit. Ibu menangis,
Bapak juga. Aku tak
mengerti. Ahmad. Ah ya, dia
juga ada diruangan ini. Ahmad
Qassam, calon suami
tercintaku. Dia menangis juga. Ada apa. Kenapa semua
menangis. Aku tak mengerti.
Mulutku kelu. Kata ibu, sudah
3 hari aku koma. Saat itu aku
tertabrak mobil dengan
kecepatan tinggi. 4 Hari sebelum pernikahanku,
aku masih berbaring dirumah
sakit. Kaki ku patah. Entah
apa yang akan terjadi pada
walimahku, dalam 4 hari tak
mungkinkan aku bisa sembuh total. Aku hanya pasrah. Sore itu, Ahmad datang
menjenguk. Nampak wajah
khawatir di guratan
senyumnya. Aku katakan
aku baik-baik saja, dan dia
pun hanya mengangguk. Mungkin dia tau bahwa aku
sedang berbohong. "walimah kita bagaimana?"
tanya ku penuh tanya. "Akan
ditunda sampai kau benar-
benar sehat." jawabnya lugas.
Aku bahagia meski sungkan.
Aku meminta maaf, sungguh karna ku semua jadi tertunda.
Dia hanya tersenyum. Manis. Tiba-tiba ada yang datang
mengetuk pintu. Hafla, dia
pun meminta izin untuk
masuk. Dan aku pun
mempersilakannya. Hafla
berlari kearahku sambil menangis. Aku hanya
tertawa. Aku katakan aku
baik-baik saja. Lalu ku kenal
kan ia pada Ahmad, calon
suamiku. "Bulan, ini Ahmad
calon suamiku. Dan Ahmad, ini Bulan eh Hafla teman
karibku." Ucapku
memperkenalkan mereka
berdua. Mereka hanya
tersenyum. Aneh pikirku. Dan
saat itu juga, Ahmad pamit. Entah kenapa, saat itu aku
melihat bulan tercinta ku
murung. Apa karna aku yang
sedang sakit? Aku rasa tidak.
Tapi lalu aku abaikan. Karna
mungkin hanya praduga ku saja. Tak lama, Hafla mendapat
telfon lalu pamit dengan buru-
buru. Tas laptop nya
tertinggal. Aku
memanggilnya namun ia tak
mendengar. Karna berhari-hari dirumah
sakit, dan merasa jenuh. Aku
memutuskan untuk
meminjam laptop Bulan ku.
Aku biasa bertukar laptop
sewaktu dikontrakan dulu. Jadi tidak apa-apa ku pikir
untuk menggunakannya.
Aku membukanya, namun
aku menemukan sebuah blog
yang belum di log-out. Aku
membacanya. Aku pikir ini adalah karya tulisnya yang
sedang ia persiapkan untuk
salah satu majalah islami. Hafla
adalah penulis lepas. Aku
mulai membacanya. Ternyata
aku salah. Ini adalah curahan hatinya. Aku tau, tak
seharusnya ku baca ini.
Namun aku bosan, jadi aku
tetap membacanya. Aku kagum dengan tulisan-
tulisanya. Menarik. Tapi... tiba-
tiba aku shock ketika
menemukan note 8 bulan
yang lalu. Bukan karna
tulisannya yang mengagumkan. Namun karna
aku temukan nama Ahmad
Qasam disana. Aku membaca
goretan noktahnya dengan
hati luka tersayat. Mereka..
ternyata mereka telah saling kenal. Bukan hanya itu. Di
masa silam, mereka pernah
berta'aruf dan hampir
menikah pula. Namun karna
orang tua Hafla ditahun itu
telah mendaftar umrah, mereka pun memutuskan
untuk menundanya. Hafla
terus menanti hari dimana
mereka berdua akan bersatu.
Sampai tiba-tiba saja Ahmad
dipindah tugas kan ke luar kota lalu menghilang tanpa
kabar. Tapi Hafla tetap
menunggunya, karna ia yakin
Ahmad akan kembali, dan
karna.. Aku menangis
membacanya, karna Hafla terlanjur mencintainya. Seketika aku menutup
laptopnya, dan lagi-lagi aku
merasa gelap. Aku pingsan
lagi. Kata ibuku saat itu.
Ketika sadar, aku langsung
menggenggam tangan ibuku. Lalu aku mengambil
keputusan terberat dan
memilukan untuk ku. Aku
memutuskan untuk
memutuskan hubungan ku
dengan Ahmad, aku sama sekali tak menceritakan
kejadian sebenarnya pada ibu
ku. Aku tak ingin melihatnya
kecewa. Aku juga tak ingin
untuk yang kedua kalinya
berpisah dengan Ahmad, namun aku pun tak kuasa
melukai hati karibku, Bulan.
Dia terlalu baik untuk disakiti.
Aku memaksa diriku ikhlas. 2 hari lagi hari walimah kami,
pagi itu aku mengajak Ahmad
bicara empat mata serius. Aku
menuntut cerita darinya.
Cerita tentang ia dan Hafla.
Awalnya ia tak mengakui hubungan nya dengan Hafla,
karna memang ia tak ingin
melukai hatiku. Katanya,
antara Hafla dan dirinya sudah
tak memiliki hubungan apa-
apa lagi. Ta'aruf mereka telah lama usai, sampai sekarang dia
menemukan kabar
tentangku. Katanya, ia masih
menyukaiku hingga sekarang.
Namun tetap saja, aku tak
ingin Hafla menangis terluka. Saat itu aku bingung. Aku
memaksanya untuk
memutuskan hubungan ini.
Namun ia menolak. Saat itu
juga Hafla datang, ia bingung
mengapa aku menangis sedemikian rupa. Aku mengajaknya duduk
bersama kami. Sebelum aku
bicara lanjut, aku meminta
maaf padanya karna telah
lancang membuka laptop
serta menbaca curahan hatinya. Lalu aku ceritakan
semua benakku padanya,
tentang rasa bersalahku
padanya, tentang
kebingunganku, tentang
semuanya. Seketika Hafla menangis, ia memohon agar
aku tak membatalkan
pernikahan yang tinggal 2 hari
itu. Aku katakan padanya,
aku tak mungkin menikah
dengan keadaan kaki ku masih patah seperti ini. Lalu
aku meminta Hafla untuk
menggantikanku. Entah
ungkapan bodoh apa itu. Itu
terlontar begitu saja dari
mulutku. Aku menangis tersedu. Aku tak tau harus
berbuat apa. Bila aku bisa
berlari, ingin aku berlari ke
manapun aku bisa. Namun
aku tak bisa. Aku
meninggalkan mereka berdua untuk bicara. Aku tak tau
harus berbuat apa. Apapun
keputusan mereka. Aku akan
menerimanya. Tak lama mereka berdua
menemuiku, mereka telah
memutuskan agar aku
melanjutkan pernikahanku,
bahkan pernikahannya pun
diurungkan untuk ditunda. Pernikahan akan tetap
dilaksanakan apapun keadaan
ku. Aku pun menerimanya
meski dengan hati tersayat.
Namun aku tak peduli, aku
berusaha untuk mengapatiskan diri, aku telah
memberikan pilihan untuk
mereka sebelumnya. Dan
mereka pun telah memilihnya.
Mereka harus menerima
apapun konsekuensnya, pikirku. Pernikahan kami pun
berlangsung sederhana,
dengan kaki ku masih ter-gif.
Aku melihat Hafla hadir
dipernikahanku, ia cukup
tegar rupanya. Mungkin aku tak akan hadir bila menjadi
dia. Aku takan sanggup
melihat orang yang ku cintai
bersanding dengan wanita
yang lain. Namun bukan Hafla
jika bersikap demikian, tegasku. Dimalam pernikahan kami,
aku banyak mendengarkan
cerita darinya. Aku pun
menceritakan banyak hal
padanya. Kami terus saja
tertawa bahagia malam itu. Saat itu mungkin aku merasa
menjadi wanita paling kejam
sedunia. Karna aku bahagia
diatas penderitaan teman
karibku. Namun aku tepiskan
itu, karna aku yakin temanku akan jauh menderita bila aku
bersedih atasnya. Saat ini, aku dan Ahmad
Qasam telah menjadi pasangan
sah. Banyak hal yang bisa
kami lakukan bersama
dengan leluasa tentunya. Dan
meski kami telah menikah, kami masih sering mengikuti
seminar-seminar umum
diantara kesibukan kami. Itu
mengingatkan kami pada
masa dahulu. Aku hanya bisa
tersenyum. Di lima bulan pernikahan
kami, aku mengandung anak
pertama kami. Usianya baru 1
minggu, alhamdulillah
keluarga kami bertambah
bahagianya. Ahmad suami tercinta ku benar-benar
memanjakan ku. Aku
berhenti bekerja saat datang
kehamilanku ini. Tak boleh
terlalu lelah kata Ahmad, dan
aku pun menurut. Sampai suatu malam, aku
memimpikan Bulan ku. Dia
terlihat sangat pucat dan lesu.
Keesokannya ketika aku
bangun, aku ceritakan hal itu
pada suamiku. Aku mulai mengkhwatirkan Hafla.
Setelah pernikahan kami,
Hafla memutuskan untuk
pindah ke luar kota. Namun ia
tak katakan kemana. Ahmad
bilang itu hanya sebuah mimpi, dan menyuruhku
untuk tak khawatir. Namun
aku tak bisa. Aku mulai
mencari info tentang
keberadaan Hafla. Dan aku
mendapatkan alamatnya. Saat itu juga, aku dan Ahmad pergi
menemuinya. Benar saja, ternyata keadaan
Hafla tidak baik. Ia terlihat
pucat sekali. Dan kurus. Aku
menangis melihatnya. "Kau kenapa hafla??" Tanyaku
sambil menangis dipeluknya.
"Aku baik-baik saja kok."
Jawab Hafla singkat. Aku tak percaya begitu saja.
Aku tanyakan keadaan Hafla
pada ibunya. Ibunya
mengatakan, bahwa akhir-
akhir ini ia berusaha keras
melupakan Ahmad dengan melakukan banyak ibadah.
Sampai terkadang ia tidak
tidur. Aku menangis
menangis tersedu
mendengarnya. Malamnya kami pamit pulang.
Tak sepatah katapun keluar
bibir kami, aku dan suamiku.
Sekarang, suamiku yang
terlihat khawatir. Aku
melihatnya benar-benar mengkhwatirkan Hafla. Dalam tahajudku malam ini,
aku mencurahkan semuanya
pada Allah. Hingga aku
tertidur pulas di atas
sajadahku. Esok paginya, aku melihat
suamiku murung. Aku
tanyakan mengapa dan ia
katakan tidak ada apa-apa.
Aku bingung. Semenjak kami
bertemu Hafla, sikapnya berubah dingin padaku. Aku
tak ambil pusing awalnya,
karna ku fikir mungkin ini
hanya sementara. Tapi
ternyata perkiraanku salah.
Sudah beberapa minggu ia dingin padaku. Aku bertanya
padanya, apakah aku
melakukan salah kepadanya.
Namun ia katakan tak ada.
Aku semakin bingung
dibuatnya. Aku sedih. Lalu aku teringat Hafla, apa
semua ini karna dia. Apa
sekarang Ahmad menyesal
menikahiku. Aku mengajak
Ahmad bicara serius, tapi
kami malah bertengkar. Ahmad bilang ia tak ingin
diganggu saat ini. Sampai aku
mendengar hal-hal yang tak
ingin aku dengar. Ahmad,
meminta ku untuk berpisah
dengannya. Aku kaget, aku terkejut. Mengapa ia setega
itu. Aku tanya apakah ini
karna Hafla. Dan ia katakan
ya. Aku langsung jatuh
pingsan saat itu. Perutku sakit sekali, ah tidak.
Ini tak sesakit hatiku. Ahmad
datang dan meminta maaf
padaku, ia berjanji takan
melakukan hal ini lagi padaku.
Ia menangis, ia katakan ia hanya terbawa emosi. Dan
tentang Hafla, ia hanya merasa
bersalah padanya karna ia
menjadi seperti itu karna dia,
karna suamiku. Aku
tersenyum dan memaafkannya. Mungkin aku
akan melakukan hal yang
sama jika aku berada
diposisinya. Ahmad
menggenggam tanganku erat.
Kini aku merasakan kehangatannya kembali. Aku
hanya bisa menangis bahagia. Tapi tiba-tiba perut ku sakit
lagi. Sakit sekali. Ahmad
panik, ia lalu keluar
memanggil dokter. Dokter
datang dan langsung
memeriksaku. Kata dokter aku keguguran. Seketika aku
menjerit, aku menangis.
Anakku. Dia telah pergi. Aku
sedih, namun Ahmad lebih
sedih. Katanya semua ini
katanya. Aku semakin sedih dibuatnya. Aku katakan tak
apa. Karna semua ini milik-
NYA. Aku mencoba tegar. Satu minggu kemudian aku
keluar dari rumah sakit. Aku
sudah baik-baik saja
alhamdulillah. Malamnya aku
duduk berdua disudut kamar
bersama Ahmad, kami bersenda gurau. Lalu aku
bicara serius. Bagaimana kalau
Ahmad menikahi Hafla.
Ahmad terkejut. Aku
katakan bahwa aku serius tak
bercanda. Ahmad menolaknya. Aku terus saja
membujuknya. Aku tau ini
bukanlah hal yang mudah,
dan sangat tak masuk akal
ada istri meminta untuk di
madu. Aku tau ini akan menyakitkan untukku,
namun aku yakin suamiku
mampu berlaku adil. Suamiku
marah padaku, ia katakan
bahwa ia takan pernah
melakukan hal semacam itu. Tapi aku tak menyerah. Aku
katakan aku mencintainya,
akupun yakin bahwa ia pun
mencintaiku. Tapi Hafla, aku
benar-benar khawatir
padanya, aku tak bisa bahagia diatas penderitaanya. Aku
pun melihat satu hal dari mata
suamiku. Aku melihat Ahmad
merindukan hadirnya Hafla. Malam itu aku terus saja
membujuknya, aku katakan
bahwa aku menginginkan
syurga atas hal ini. Suamiku
menangis dan mendekapku
erat, lalu ia katakan bahwa ia akan melakukannya. Aku
bahagia mendengarnya. Dalam
tahajudku, aku menangis,
mengadu pada-NYA. Bahwa
sungguh hatiku sakit. Meski
aku yang meminta perihal ini, namun aku tak kuasa
menahan pedihnya. Berbagi
suami. Hal yang tak pernah ku
bayangkan sebelumnya.
Namun aku mencoba ikhlas.
Aku bahagia. Ya aku harus bahagia. Ah tidak. Kami
bertiga harus bahagia. Dihari pernikahan mereka,
aku hanya mampu menahan
haru dari balik tirai. Aku
cemburu melihat mereka
berdua tersenyum hangat. Air
mataku terjatuh. Meski cemburu, namun aku bahagia. Dimalam pernikahan mereka,
aku menyiapkan segala-
galanya. Kamar pengantin ku
hias sedemikian indahnya.
Lalu mereka berdua datang,
lantas memelukku. Aku bahagia memiliki kalian, aku
katakan padanya. Lalu
Ahmad menggenggam erat
tanganku dan mengatakan
bahwa ia mencintaiku. Aku
tersenyum bahagia mendengarnya. Lalu aku
bisikan di telinga Ahmad,
suami yang aku sangat cintai..
bahwa rembulan ini untukmu,
sayang.
Senin, 25 Februari 2013
AKU RINDU PADAMU IBU
S iapa yang
menghapus
air matamu saat tangismu berderai?
Dengan tangan lembutnya perlahan dia usap air mata ini, dengan jutaan kasih. Siapakah yang memberi ciuman mesra saat kau kecil? Dengan uluran kasihnya dia cium kedua pipi kita. Disaat malam menjelma dia rela tidur dengan tanpa selimut demi anaknya, agar tak kedinginan. Dia yang membersihkan kotoran-kotoran yang tiap kali aku keluarkan tanpa rasa malu, dia bersihkan perlahan tanpa rasa jijik. Dia yang selalu
menceritakanku tentang semua kisah di dunia ini sebelum mataku terlelap hiasi hening malam. Di pagi yang cerah dia selalu menggendongku kemana dia pergi, kasihnya sungguh tak ada batas. Ibu kau adalah malaikat ku yang mengajariku tentang semua dan kini aku tahu tentang segalanya. Di kala aku mulai dewasa dia yang selalu memberiku yang terbaik. Mengajariku saat aku belajar di malam hari. Ibu kini aku kesepian diantara langit malam hari, hanya langit gelap yang sanggup kutatap. kini aku harus menjalani hari-hari sepi tanpa mu. Aku ingati semuanya, kau yang selalu menjemputku
penuh senyum tulus di muka pintu saat aku datang. Ibu aku rindu doa-doa tulusmu dari relung hatimu. Ibu doakanlah, aku kini sedang melangkah. Menjalani hariku demi citaku.ibu lepaslah kepergianku ini dengan uluran tangan dan sejuta maaf mu. Doamu ibu, selalu ku nanti. Mohon kan kepada Allahhu Robbi agar dia
besertaku selalu di sela-sela hidup ku. Ibu lepaskanlah aku kelaut biru, akan ku arungi dan aku seberangi. Ingin rasanya aku merasakan saat indah bersamamu selalu. Namun kini aku jauh darimu. Ibu aku rindu senyum indahmu, ibu aku rindu kasih tulusmu , aku rindu cerita-ceritamu di malam
menjelang tidurku,aku rindu suapan makanan yang kau suapkan padaku saat aku kecil
dulu, aku rindu tidur dipangkuan mu. Ibu aku rindu
saat –saat bersama mu.ibu andai waktu ini dapat diulang kembali akan aku persembahkan yang terbaik bagimu. Ibu maafkan aku anakmu ini, belum bisa bahagiakan mu. Ibu di pagi yang mulai menjelma ini, akan aku panjatkan doa bagimu. Ibu hanya doa yang mampu aku kirimkan untuk mu, aku tahu ini tak sebanding dengan kasihmu yang tulus padaku. Namun apa dayaku ibu,,,sesungguhnya akupun menyesal, aku belum berikan kepadamu yang terbaik. Andai kau kini ada dihadapanku. Aku rela bersujud dan mencium telapak kakimu yang mulia. Ibu maafkan anakmu ini ibu....anakmu yang selalu membuatmu
gelisah ,,,,anakmu yang selalu membuatmu menangis karena
tingkah brutal ku. Ya Robb ampuni dosa ibu ku Ya Rabb...berilah syurga yang tertinggi baginya. (jerit kerinduan) ingati selalu kasih sayang nya
AKU MENCINTAI ISTRIKU (cerita dari mbak mbak any)
Pagi itu aku marah pada istriku, aku sebel
karena ia telat
membangunkanku dan
menyiapkan sarapan pagi
untukku. Aku berangkat
kerja tanpa memakan sarapan yang selesai
dibuatnya, aku langsung
pamit dan menuju mobilku
tanpa berpamitan atau
menunggu bekal yang
biasanya disiapkan istriku setiap paginya. Ku lihat
istriku berlari berusaha
mengejar mobilku dan
memberikan bekal itu
padaku, tapi tak ku
perdulikan dia dan tetap melajukan mobilku dengan
kencang.
Hari ini begitu sibuk
di kantor, bahkan
mengharuskanku
menyelesaikan laporan hasil rapat pagi tadi. Rasanya
bener2 hari yang
menyebalkan. Pada jam
makan siang pun tak
sempat makan malah
dimarahi atasan segala. Heemmmmzzzz,,,
Masih syukur ada teman
yang membawakan
makanan untukku yang
sejak pagi tak menelan
ataupun meneguk sesuatu. Sorenya pukul 4.00 istriku
menelpon. “ mau pulang
jam berapa nanti yah ? biar
ku siapkan makan malam
kesukaan ayah ?”. “ tidak
perlu, aku pulang malam banyak kerjaan”. Langsung
ku tutup telpon dari istriku
tanpa berkata apa2 lagi. Ku
lanjutkan pekerjaanku
dengan perasaan yang serba
kesal dan marah. Karena biasanya aku pulang
jam 6 sore dan jam 7 sudah
sampai rumah, Istriku sudah
menyiapkan makan malam
untuk kami berdua. Di
kantor aku tetap sibuk berkutat dengan tugasku
yang harus selesai besok.
Ku lirik jam di dinding
menunjukkan pukul 9
malam. Rasanya malas juga
mau pulang ke rumah apalagi bertemu dengan
istriku yang selalu
menghambur2kan uang.
Selalu berangkat pagi dan
pulang sore saat aku tak di
rumah. Jam 11 lebih aku baru sampai rumah, ku pikir
pasti istriku dah tidur di
kamar dengan pulasnya.
Ku buka pintu, ternyata
istriku menungguku dan
tertidur di shofa. Ku biarkan saja dia disana. Aku
melangkah menuju kamar,
ternyata di meja makan
telah siap menu2
kesukaanku. Rasanya
sudah tidak selera makan, Ku bantingkan tubuhku
dikasurku dengan penuh
rasa lelah hari ini. Ku lihat
laptop pribadi istriku masih
menyala. Aku tidak pernah
lihat dia membukanya sejak menikah. Aku ambil dan
mencoba membuka
isinya..dan ternyata
hanyalah diary istriku sejak
SMA. Aku baca yang isinya
sejak pertemuan kami dulu pertemuan kami dulu. 23 Oktober 2011 Tuhan, hari ini suamiku libur sebelum berangkat tugas ke luar negara. Hari yang seharusnya kami menghabiskan waktu bersama, tapi pagi2 sekali ia pergi pamit akan ke rumah rekan kerjanya. Rasanya entah kenapa aku tak rela ia pergi, dan ternyata dia menemui wanita lain disana. 20 November 2011 Hari ini suamiku akan
berangkat tugas, aku mengantarkannya ke Bandara. Tanpa rasa curiga ku tanya pasword emailnya yang telah digantinya tanpa
ku tahu. Dan malam harinya tak sengaja ku buka emailnya. Aku melihatnya berkirim email dengan wanita lain. Ya Allah, kuatkan aku...agar tetap mampu berpijak di penantian ini. Dan ternyata itu adalah wanita yang ditemuinya ketika pulang
kemarin. Ya Allah buatlah aku percaya pada suami yang telah membohongiku selama ini. 30 November 2011 Suamiku dah tugas di negara orang,,Ya Allah, hari
ini ada wanita lain lagi yang berkirim email pada suamiku menanyakan kabarnya di tempat tugas dan memanggilnya dengan sebutan “papah” .. saat ku tanyakan baik2 siapa wanita itu..suamiku justru memarahiku..ya Tuhan, kuatkan aku..aku mencintai suamiku. Aku tak ingin meninggalkannya.” Aku tak kuasa menitikkan air mata melihat
diary istriku di laptopnya..
Ternyata istriku begitu
tegarnya, ternyata dia tahu
semua tentang hubunganku
dengan wanita lain. Tapi dia tidak pernah menunjukkan
kebenciannya padaku.Dia
tetap tersenyum dan selalu
tersenyum padaku. Dia tak
membenciku yang telah
membohonginya. Dia begitu setia padaku, tapi aku tak
pernah menghiraukannya.
Aku selalu memarahinya
dan berkata kasar padanya.
Tak sanggup lagi ku baca
bait berikutnya, aku langsung berlari dan
memeluk istriku yang
tertidur di sofa dan berkata
“ aku mencintaimu istriku”
SUARA PEREMPUAN TERTAWA DI KUBURAN...
sumpah ini kisah nyata, aku sendiri yg mengalaminya...
.saat itu dirumahku lg mengadakan tahlilan atau ngaji selama 7hari, untung mengirim doa almarhum farel (adiku).. Klo tdak salah menjelang malam ketiga.. Sehabis ngaji aku disuruh nyiram air bunga ke makam almhum.. Aku ditemani oleh 2 orang sodaraku.. Sebut saja bolang dan pri (adik),, kami bertiga naik motor (bontong) dijalan kami ngobrol.. Dan sepakat untuk tdak takut dan jgn ada yang lari, sesampainya didpan makam aku memakirkan motor dipinggir kira2 jam 10malam.. Bolang dan pri masuk duluan dan aku nyusul di belakang, sesampenya dimakam yg kami tuju pri langsung duduk dan membaca doa.. Saat aku dan bolang mau duduk tiba2 terdengar suara aneh dari belakangku.. Spreti suara perempuan ketawa ngikrik.. Aku pun terdiam.. Mengamati suara itu.. Lama2 suara itu makin jelas.. Aku mulai merinding. Ku pegang kaos bolang agar tdk lari.. Lalu pri bangun dari duduknya.. Dan brjalan keluar akupun ikut dibelakangnya.. Tp suara perempuan ketawa itu masih jelas terdngar.. Aku lngsung putar motor.. Stater dan langsung ngibring pulang...
..kami bertiga dengar smua.. Itu benar2 suara kunti hiiíií....
..amit amit jgn smpe ketemu...
..
Takut ga.. AWAS..! Klo km ga takut gue jitak pale lu..
Minggu, 24 Februari 2013
CINTA SEORANG SUAMI KEPADA ISTRI
Aku membencinya, Itulah
yang selalu kubisikkan
dalam hatiku hampir
sepanjang kebersamaan
kami. Meskipun
menikahinya, Aku tak pernah benar-benar
menyerahkan hatiku
padanya. Menikah karena
paksaan orangtua,
Membuatku membenci
suamiku sendiri. Walaupun menikah terpaksa, Aku tak
pernah menunjukkan sikap
benciku. Meskipun
membencinya, Setiap hari
aku melayaninya
sebagaimana tugas istri. Aku terpaksa melakukan
semuanya karena aku tak
punya pegangan lain.
Beberapa kali muncul
keinginan meninggalkannya
tapi aku tak punya kemampuan finansial dan
dukungan siapapun. Kedua
orangtuaku sangat
menyayangi suamiku
karena menurut mereka,
Suamiku adalah sosok suami sempurna untuk putri satu-
satunya mereka. Ketika
menikah, Aku menjadi istri
yang teramat manja.
Kulakukan segala hal sesuka
hatiku. Suamiku juga memanjakanku sedemikian
rupa. Aku tak pernah
benar-benar menjalani
tugasku sebagai seorang
istri. Aku selalu bergantung
padanya karena aku menganggap hal itu sudah
seharusnya setelah apa yang
ia lakukan padaku. Aku
telah menyerahkan hidupku
padanya sehingga
tugasnyalah membuatku bahagia dengan menuruti
semua keinginanku. Di rumah kami, Akulah
ratunya. Tak ada
seorangpun yang berani
melawan. Jika ada sedikit
saja masalah, Aku selalu
menyalahkan suamiku. Aku tak suka handuknya yang
basah yang diletakkan di
tempat tidur, Aku sebal
melihat ia meletakkan
sendok sisa mengaduk susu
di atas meja dan meninggalkan bekas
lengket, Aku benci ketika ia
memakai komputerku
meskipun hanya untuk
menyelesaikan
pekerjaannya. Aku marah kalau ia menggantung
bajunya di kapstock
bajuku, Aku juga marah
kalau ia memakai pasta gigi
tanpa memencetnya dengan
rapi, Aku marah kalau ia menghubungiku hingga
berkali-kali ketika aku
sedang bersenang-senang
dengan teman-temanku. Tadinya aku memilih untuk
tidak punya anak. Meskipun
tidak bekerja, Tapi aku tak
mau mengurus anak.
Awalnya dia mendukung
dan akupun ber-KB dengan pil. Tapi rupanya ia
menyembunyikan
keinginannya begitu dalam
sampai suatu hari aku lupa
minum pil KB dan meskipun
ia tahu ia membiarkannya. Akupun hamil dan baru
menyadarinya setelah lebih
dari empat bulan,
Dokterpun menolak
menggugurkannya. Itulah kemarahanku
terbesar padanya.
Kemarahan semakin
bertambah ketika aku
mengandung sepasang anak
kembar dan harus mengalami kelahiran yang
sulit. Aku memaksanya
melakukan tindakan
vasektomi agar aku tidak
hamil lagi. Dengan patuh ia
melakukan semua keinginanku karena aku
mengancam akan
meninggalkannya bersama
kedua anak kami. Waktu
berlalu hingga anak-anak
tak terasa berulang tahun yang ke-delapan. Seperti
pagi-pagi sebelumnya, Aku
bangun paling akhir. Suami
dan anak-anak sudah
menungguku di meja
makan. Seperti biasa, Dialah yang menyediakan sarapan
pagi dan mengantar anak-
anak ke sekolah. Hari itu, Ia
mengingatkan kalau hari itu
ada peringatan ulang tahun
ibuku. Aku hanya menjawab dengan
anggukan tanpa
mempedulikan kata-
katanya yang
mengingatkan peristiwa
tahun sebelumnya, Saat itu aku
memilih ke mal dan tidak
hadir di acara ibu. Yaah, Karena merasa
terjebak dengan
perkimpoianku, Aku juga
membenci kedua
orangtuaku. Sebelum ke
kantor, Biasanya suamiku mencium pipiku saja dan
diikuti anak-anak. Tetapi
hari itu, Ia juga memelukku
sehingga anak-anak
menggoda ayahnya dengan
ribut. Aku berusaha mengelak dan melepaskan
pelukannya. Meskipun
akhirnya ikut tersenyum
bersama anak-anak. Ia
kembali mencium hingga
beberapa kali di depan pintu Seakan-akan berat untuk
pergi. Ketika mereka pergi,
Akupun memutuskan
untuk ke salon.
Menghabiskan waktu ke
salon adalah hobiku. Aku
tiba di salon langgananku beberapa jam kemudian. Di
salon aku bertemu salah
satu temanku sekaligus
orang yang tidak kusukai.
Kami mengobrol dengan
asyik termasuk saling memamerkan kegiatan
kami. Tiba waktunya aku
harus membayar tagihan
salon. Namun betapa
terkejutnya aku, Ketika
menyadari bahwa dompetku tertinggal di
rumah. Meskipun merogoh
tasku hingga bagian
terdalam aku tak
menemukannya di dalam
tas. Sambil berusaha mengingat-ingat apa yang
terjadi hingga dompetku
tak bisa kutemukan. Aku
menelepon suamiku dan
bertanya,
“Maaf sayang, Kemarin Farhan meminta uang jajan
dan aku tak punya uang
kecil maka kuambil dari
dompetmu. Aku lupa
menaruhnya kembali ke
tasmu, Kalau tidak salah aku letakkan di atas meja
kerjaku.”
Katanya menjelaskan
dengan lembut. Dengan
marah, Aku mengomelinya
dengan kasar. Kututup telepon tanpa
menunggunya selesai bicara. Tak lama kemudian,
Handphoneku kembali
berbunyi dan meski masih
kesal, Akupun
mengangkatnya dengan
setengah membentak. “Apalagi??”
“Sayang, Aku pulang
sekarang, Aku akan ambil
dompet dan mengantarnya
padamu. Sayang sekarang
ada dimana?” tanya suamiku cepat , Kuatir Aku
menutup telepon kembali.
Aku menyebut nama
salonku dan tanpa
menunggu jawabannya lagi,
Aku kembali menutup telepon. Aku berbicara
dengan kasir dan
mengatakan bahwa
suamiku akan datang
membayarkan tagihanku. Si
empunya Salon yang sahabatku sebenarnya
sudah membolehkanku
pergi dan mengatakan aku
bisa membayarnya nanti
kalau aku kembali lagi. Tapi rasa malu karena
“musuh”ku juga ikut
mendengarku ketinggalan
dompet membuatku gengsi
untuk berhutang dulu.
Hujan turun ketika aku melihat keluar dan berharap
mobil suamiku segera
sampai. Menit berlalu
menjadi jam, Aku semakin
tidak sabar sehingga mulai
menghubungi handphone suamiku. Tak ada jawaban
meskipun sudah berkali-kali
kutelepon. Padahal biasanya
hanya dua kali berdering
teleponku sudah
diangkatnya. Aku mulai merasa tidak enak dan
marah. Teleponku diangkat
setelah beberapa kali
mencoba. Ketika suara
bentakanku belum lagi
keluar, Terdengar suara asing
menjawab telepon suamiku.
Aku terdiam beberapa saat
sebelum suara lelaki asing
itu memperkenalkan diri,
“Selamat siang, ibu. Apakah ibu istri dari bapak
armandi?”
Kujawab pertanyaan itu
segera. Lelaki asing itu
ternyata seorang polisi, Ia
memberitahu bahwa suamiku mengalami
kecelakaan dan saat ini ia
sedang dibawa ke rumah
sakit kepolisian. Saat itu aku hanya terdiam
dan hanya menjawab
terima kasih. Ketika telepon
ditutup, aku berjongkok
dengan bingung. Tanganku
menggenggam erat handphone yang kupegang
dan beberapa pegawai salon
mendekatiku dengan sigap
bertanya ada apa hingga
wajahku menjadi pucat
seputih kertas. Entah bagaimana akhirnya aku
sampai di rumah sakit.
Entah bagaimana juga tahu-
tahu seluruh keluarga hadir
di sana menyusulku. Aku
yang hanya diam seribu bahasa menunggu suamiku
di depan ruang gawat
darurat. Aku tak tahu harus
melakukan apa karena
selama ini dialah yang
melakukan segalanya untukku. Ketika akhirnya
setelah menunggu beberapa
jam, tepat ketika
kumandang adzan maghrib
terdengar seorang dokter
keluar dan menyampaikan berita itu. Suamiku telah
tiada. Ia pergi bukan karena
kecelakaan itu sendiri,
Serangan stroke-lah yang
menyebabkan
kematiannya. Selesai mendengar
kenyataan itu, Aku malah
sibuk menguatkan kedua
orangtuaku dan
orangtuanya yang shock.
Sama sekali tak ada airmata setetespun keluar di kedua
mataku. Aku sibuk
menenangkan ayah ibu dan
mertuaku. Anak-anak yang
terpukul memelukku
dengan erat tetapi kesedihan mereka sama
sekali tak mampu
membuatku menangis.
Ketika jenazah dibawa ke
rumah dan aku duduk di
hadapannya, Aku termangu menatap wajah itu.
Kusadari baru kali inilah aku
benar-benar menatap
wajahnya yang tampak
tertidur pulas. Kudekati
wajahnya dan kupandangi dengan seksama. Saat itulah
dadaku menjadi sesak
teringat apa yang telah ia
berikan padaku selama
sepuluh tahun kebersamaan
kami. Kusentuh perlahan wajahnya yang telah dingin
dan kusadari inilah kali
pertama kali aku
menyentuh wajahnya yang
dulu selalu dihiasi senyum
hangat. Airmata merebak
dimataku, Mengaburkan
pandanganku. Aku
terkesiap berusaha
mengusap agar airmata tak
menghalangi tatapan terakhirku padanya, Aku
ingin mengingat semua
bagian wajahnya agar
kenangan manis tentang
suamiku tak berakhir
begitu saja. Tapi bukannya berhenti, Airmataku
semakin deras membanjiri
kedua pipiku. Peringatan
dari imam masjid yang
mengatur prosesi
pemakaman tidak mampu membuatku berhenti
menangis. Aku berusaha
menahannya, Tapi dadaku
sesak mengingat apa yang
telah kuperbuat padanya
terakhir kali kami berbicara. Aku teringat betapa aku
tak pernah memperhatikan
kesehatannya. Aku hampir
tak pernah mengatur
makannya. Padahal ia selalu
mengatur apa yang kumakan. Ia
memperhatikan vitamin
dan obat yang harus
kukonsumsi terutama
ketika mengandung dan
setelah melahirkan. Ia tak pernah absen
mengingatkanku makan
teratur, bahkan terkadang
menyuapiku kalau aku
sedang malas makan. Aku
tak pernah tahu apa yang ia makan karena aku tak
pernah bertanya. Bahkan
aku tak tahu apa yang ia
sukai dan tidak disukai.
Hampir seluruh keluarga
tahu bahwa suamiku adalah penggemar mie instant dan
kopi kental. Dadaku sesak
mendengarnya, Karena aku
tahu ia mungkin terpaksa
makan mie instant karena
aku hampir tak pernah memasak untuknya. Aku
hanya memasak untuk
anak-anak dan diriku
sendiri. Aku tak perduli dia
sudah makan atau belum
ketika pulang kerja. Ia bisa makan masakanku hanya
kalau bersisa. Ia pun pulang
larut malam setiap hari
karena dari kantor cukup
jauh dari rumah. Aku tak
pernah mau menanggapi permintaannya untuk
pindah lebih dekat ke
kantornya karena tak mau
jauh-jauh dari tempat
tinggal teman-temanku. Saat pemakaman, Aku tak
mampu menahan diri lagi.
Aku pingsan ketika melihat
tubuhnya hilang bersamaan
onggokan tanah yang
menimbun. Aku tak tahu apapun sampai terbangun di
tempat tidur besarku. Aku
terbangun dengan rasa sesal
memenuhi rongga dadaku.
Keluarga besarku
membujukku dengan sia-sia karena mereka tak pernah
tahu mengapa aku begitu
terluka kehilangan dirinya.
Hari-hari yang kujalani
setelah kepergiannya
bukanlah kebebasan seperti yang selama ini kuinginkan
tetapi aku malah terjebak di
dalam keinginan untuk
bersamanya. Di hari-hari awal
kepergiannya, Aku duduk
termangu memandangi
piring kosong. Ayah, Ibu
dan ibu mertuaku
membujukku makan. Tetapi yang kuingat hanyalah saat
suamiku membujukku
makan kalau aku sedang
mengambek dulu. Ketika
aku lupa membawa handuk
saat mandi, aku berteriak memanggilnya seperti biasa
dan ketika malah ibuku
yang datang, Aku
berjongkok menangis di
dalam kamar mandi
berharap ia yang datang. Kebiasaanku yang
meneleponnya setiap kali
aku tidak bisa melakukan
sesuatu di
rumah, Membuat teman
kerjanya kebingungan menjawab teleponku.
Setiap malam aku
menunggunya di kamar
tidur dan berharap esok
pagi aku terbangun dengan
sosoknya di sebelahku. Dulu aku begitu kesal kalau tidur
mendengar suara
dengkurannya, Tapi
sekarang aku bahkan sering
terbangun karena rindu
mendengarnya kembali. Dulu aku kesal karena ia
sering berantakan di kamar
tidur kami, Tetapi
kini aku merasa kamar tidur
kami terasa kosong dan
hampa. Dulu aku begitu kesal jika ia melakukan
pekerjaan dan
meninggalkannya di
laptopku tanpa me-log out,
Sekarang aku memandangi
komputer, Mengusap tuts- tutsnya berharap bekas jari-
jarinya masih
tertinggal di sana. Dulu aku
paling tidak suka ia
membuat kopi tanpa alas
piring di meja, Sekarang bekasnya yang tersisa di
sarapan pagi
terakhirnyapun tidak mau
kuhapus. Remote televisi
yang biasa
disembunyikannya, Sekarang dengan mudah
kutemukan meski aku
berharap bisa mengganti
kehilangannya dengan
kehilangan remote. Semua kebodohan itu
kulakukan karena aku baru
menyadari bahwa dia
mencintaiku dan aku sudah
terkena panah cintanya.
Aku juga marah pada diriku sendiri, Aku marah karena
semua kelihatan normal
meskipun ia sudah tidak
ada. Aku marah karena
baju-bajunya masih di sana
meninggalkan baunya yang membuatku rindu. Aku
marah karena tak bisa
menghentikan semua
penyesalanku. Aku marah
karena tak ada lagi yang
membujukku agar tenang, Tak ada lagi yang
mengingatkanku sholat
meskipun kini kulakukan
dengan ikhlas. Aku sholat
karena aku ingin meminta
maaf, Meminta maaf pada Allah karena menyia-
nyiakan suami yang
dianugerahi padaku,
Meminta ampun karena
telah menjadi istri yang
tidak baik pada suami yang begitu sempurna. Sholatlah
yang mampu menghapus
dukaku sedikit demi sedikit.
Cinta Allah padaku
ditunjukkannya dengan
begitu banyak perhatian dari keluarga untukku dan
anak-anak. Teman-temanku
yang selama ini kubela-
belakan, Hampir tak pernah
menunjukkan batang
hidung mereka setelah kepergian suamiku. Empat puluh hari setelah
kematiannya, Keluarga
mengingatkanku untuk
bangkit dari keterpurukan.
Ada dua anak yang
menungguku dan harus kuhidupi. Kembali rasa
bingung merasukiku.
Selama ini aku tahu beres
dan tak pernah bekerja.
Semua dilakukan suamiku.
Berapa besar pendapatannya selama ini
aku tak pernah peduli, yang
kupedulikan hanya jumlah
rupiah yang ia transfer ke
rekeningku untuk kupakai
untuk keperluan pribadi dan setiap bulan uang itu hampir
tak pernah bersisa. Dari
kantor tempatnya bekerja,
Aku memperoleh gaji
terakhir beserta kompensasi
bonusnya. Ketika melihatnya aku terdiam tak
menyangka, Ternyata
seluruh gajinya ditransfer
ke rekeningku selama ini.
Padahal aku tak pernah
sedikitpun menggunakan untuk keperluan rumah
tangga. Entah darimana ia
memperoleh uang lain
untuk memenuhi
kebutuhan rumah tangga
karena aku tak pernah bertanya sekalipun soal
itu.Yang aku tahu sekarang
aku harus bekerja atau
anak-anakku takkan bisa
hidup karena jumlah gaji
terakhir dan kompensasi bonusnya takkan cukup
untuk menghidupi kami
bertiga. Tapi bekerja di
mana ? Aku hampir tak
pernah punya pengalaman
sama sekali. Semuanya selalu diatur oleh dia. Kebingunganku terjawab
beberapa waktu kemudian.
Ayahku datang bersama
seorang notaris. Ia
membawa banyak sekali
dokumen. Lalu notaris memberikan sebuah surat.
Surat pernyataan suami
bahwa ia mewariskan
seluruh kekayaannya
padaku dan anak-anak, Ia
menyertai ibunya dalam surat tersebut tapi yang
membuatku tak mampu
berkata apapun adalah isi
suratnya untukku. Istriku Liliana tersayang,
Maaf karena harus
meninggalkanmu terlebih
dahulu. Maaf karena harus
membuatmu bertanggung
jawab mengurus segalanya sendiri. Maaf karena aku tak
bisa memberimu cinta dan
kasih sayang lagi. Allah
memberiku waktu yang
terlalu singkat karena
mencintaimu dan anak-anak adalah hal terbaik yang
pernah kulakukan
untukmu. Seandainya aku
bisa, Aku ingin
mendampingi sayang
selamanya. Tetapi aku tak mau kalian kehilangan kasih
sayangku begitu saja.
Selama ini aku telah
menabung sedikit demi
sedikit untuk kehidupan
kalian nanti. Aku tak ingin sayang susah setelah aku
pergi. Tak banyak yang bisa
kuberikan tetapi aku
berharap sayang bisa
memanfaatkannya untuk
membesarkan dan mendidik anak-anak. Lakukan yang
terbaik untuk mereka, Ya
sayang. Jangan menangis,
Sayangku yang manja.
Lakukan banyak hal untuk
membuat hidupmu yang terbuang percuma selama
ini. Aku memberi
kebebasan padamu untuk
mewujudkan mimpi-mimpi
yang tak sempat kau
lakukan selama ini. Maafkan kalau aku menyusahkanmu
dan semoga Tuhan
memberimu jodoh yang
lebih baik dariku. Teruntuk Farah, Putri
tercintaku. Maafkan karena
ayah tak bisa
mendampingimu. Jadilah
istri yang baik seperti Ibu.
Dan Farhan, Ksatria pelindungku. Jagalah Ibu
dan Farah. Jangan jadi anak
yang bandel lagi dan selalu
ingat dimanapun kalian
berada, ayah akan disana
melihatnya. Oke! Aku terisak membaca surat
itu, Ada gambar kartun
dengan kacamata yang
diberi lidah menjulur khas
suamiku kalau ia
mengirimkan note. Notaris memberitahu bahwa selama
ini suamiku memiliki
beberapa asuransi dan
tabungan deposito dari hasil
warisan ayah kandungnya.
Suamiku membuat beberapa usaha dari hasil
deposito tabungan tersebut
dan usaha tersebut cukup
berhasil meskipun
dimanajerin oleh orang-
orang kepercayaannya. Aku hanya bisa menangis
terharu mengetahui betapa
besar cintanya pada kami,
Sehingga ketika ajal
menjemputnya ia tetap
membanjiri kami dengan cinta. Aku tak pernah
berpikir untuk menikah
lagi. Banyaknya lelaki yang
hadir tak mampu
menghapus sosoknya yang
masih begitu hidup di dalam hatiku. Hari demi hari hanya
kuabdikan untuk anak-
anakku. Ketika orangtuaku
dan mertuaku pergi satu
persatu meninggalkanku
selaman-lamanya, Tak satupun meninggalkan
kesedihan sedalam
kesedihanku saat suamiku
pergi. Kini kedua putra putriku
berusia duapuluh tiga tahun.
Dua hari lagi putriku
menikah dengan seorang
pemuda dari tanah
seberang. Putri kami bertanya,
“Ibu, aku harus bagaimana
nanti setelah menjadi istri,
soalnya Farah kan ga bisa
masak, ga bisa nyuci,
gimana ya bu?” Aku merangkulnya sambil
berkata,
“Cinta sayang, cintailah
suamimu, Cintailah pilihan
hatimu, Cintailah apa yang ia
miliki dan kau akan mendapatkan segalanya.
Karena cinta, Kau akan
belajar menyenangkan
hatinya, Akan belajar
menerima kekurangannya,
Akan belajar bahwa sebesar apapun persoalan, Kalian
akan menyelesaikannya
atas nama cinta.”
Putriku menatapku,
“Aeperti cinta ibu untuk
ayah ? Cinta itukah yang membuat ibu tetap setia
pada ayah sampai
sekarang?”
Aku menggeleng,
“Bukan, sayangku. Cintailah
suamimu seperti ayah mencintai ibu dulu, Seperti
ayah mencintai kalian
berdua. Ibu setia pada ayah
karena cinta ayah yang
begitu besar pada ibu dan
kalian berdua.” Aku mungkin tak
beruntung karena tak
sempat menunjukkan
cintaku pada suamiku. Aku
menghabiskan sepuluh
tahun untuk membencinya, Tetapi menghabiskan
hampir sepanjang sisa
hidupku untuk
mencintainya. Aku bebas
darinya karena kematian,
Tapi aku tak pernah bisa bebas dari cintanya yang
begitu tulus.
Sabtu, 23 Februari 2013
NURJANAH (CAHAYA SURGA)
dia'lah nur.. (nurjanah),,,
..dia yg sllu berkorban untuk'ku..
.dia memberikan semua apa yg aku inginkan.
.Dia perhatian..
.dia wanita yg hebat..
.dia selalu ada untuk'ku..
.dia terima aku apa adanya..
.dia tdak brgantung pada orang lain,
.dia slalu berusaha untuk mendapatkan apa yg dia inginkan.
.dia sangat istimewa.
Dia lucu,
.dia segala'nya,,
.dia sangat baik padaku..
.apa'pun yg aku tunjuk dia memberikan.
.sangat besar pengorbananmu..
.dia setia,
.dia relakan smuanya demi aku..
.dia korbankan smua demi aku.
.tapi...
.aku slalu membohonginya.
.aku tdak jujur sama dia
.aku selingku,
.aku memanfaatkan dia,
.aku tdak pedulikan dia,
.aku tdk memperhatikan dia.
.aku tdak pernah puas..
Aku sering menyakiti hatinya.
.aku sering membuat dia menangis..
..NUR.. maafkan aku ya..
Aku janji akan merubah sikapku..
.aku sangat menyayangimu.
.. I LOVE U ..
Rabu, 20 Februari 2013
OCEHAN ANAK MUDA
tak batuk dulu yah "uhuk uhuk.!! Hem..
.
.
Selama perjalanan cinta'ku aku dah sering dan banyak mengenal wanita.. Dari yg biasa sampe yg luar biasa, beberapa wanita memang pernah mengisih kehidupan'ku tidak banyak sih cm 7 eh 8.. Hahaha..
.. Tp smua cm lewat.. Tak ada yg betah dan cocok dgn kehidupan yg kujalani..
Dan cara putus'nya jg macam2. Ada yg ninggalin dan ada jg yg kutinggalin.. Jujur selama bergaul aku pernah ditampar oleh wanita^ pipi kanan 2X pipi kiri 1X..
Tp kini aku sadar.. Aku capek dan merasa berdosa bila aku terus begini.. Hidup tidak tenang. Klo malam sllu gelisah.. Hahaha.. Itu'lah anak mudah..
Hmmm...
.
Tp kali ini aku kenal sm seorang wanita yg benar2 mampu menggetarkan hatiku dan mengacak ngacak pikiran'ku.. Sehari tak chat dgn dia fb'ku terasa sepi..
..
Yaaa tp aku ga berharap bnyak.. Aku kenal dia saja aku dah senang..
..
Tp aku lebih mementing persahabatan.. Karna persahabatan akan selalu abadi..
.
Wis ah.. Tak adus ndisek..
..jin ketawa mbuahahahahaha...
..
#bezita
Langganan:
Postingan (Atom)